"Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi yang lainnya"

Selamat Datang di Sofyan Blog's - "Kesuksesan hanya milik mereka yang mau berjuang"

Angkringan Tua

sumber gambar
Lampu kecil tua berkedip-kedip tepat di angkringan pojok tugu jogja. Kepulan asap rokok melingkar berputar-putar menggelinding ke udara. Kereta api logawa melintas melewati rel berkarat. Hujan menetes menelusup atap gerbong kereta ekonomi. Penumpang berjejal-jejal mengatur napas. Penjual menghimpitkan tubuhnya di tengah penumpang berpenyakit. Di utara stasiun tugu, sosok laki-laki lanjut usia sedang bersenandung ria dengan batuk dan pilek  Perubahan cuaca memaksanya harus belajar mengebalkan tubunya. Kakinya patah sebelah  ketika melewati jembatan sayyidan 10 tahun yang lalu. Mobil sedan berlari seperti ferrari menyambar tubuh kecilnya. Matanya memicing menatap muda-mudi mabuk kepayang.
Nasi kucing panas, tahu bacem, cakar ayam dan gorengan mengepul panas dari angkringan miliknya. Anak satu-satunya pergi ke sumatera dibawa suaminya merantau. 5 tahun tanpa kabar. Istrinya tergolek lemas di rumah. Tulang belulang menemani Mbok Mun di atas dipan. Rantang kecil berisi sup dari Mbok Nah tetangga sebelah masih tersisa. Darto mendengkur menunggu pembeli bersedia mampir di angkringannya. Air satu ember tempat mencuci piring, gelas dan sendok sudah 5 hari tak pernah diganti. Entah  lupa atau sengaja, mungkin biar rasanya lebih sedap dari angkringan lain. Atau mungkin mendapat wangsit dari orang pintar supaya pembeli banyak yang datang. Suara klakson mobil melewati jalan pasar kembang acap kali mengagetkan Mbok Mun.
Angkringan tua itu   sudah berdiri 20 tahun lalu. Ia menatap kosong seraya  menaikkan kaki di atas kursi sambil terus menghisap rokok cerutu seperti kereta api zaman dulu. Saat bahan bakar masih batu bara. Jam menunjuk pukul 10 malam. Angkringannya masih sepi. Berbeda sekali dengan angkringan lain yang menjajajakan makanan dan minuman modern. Angkringan  kopi joss telah mengalahkan angkringan yang lama. Tiap sore hingga pertengahan malam selalu saja penuh pengunjung.
Menu makanan miliknya  hanya itu-itu saja, tanpa ada inovasi, baik menunya maupun rasa. Wedang ronde, kopi hitam dan teh anget menjadi minuman khasnya. Berbeda dengan angkringan sebelah. Susu coklat, susu putih, nescafe, milo, makanan berat  dan sebangsanya selalu ada. Ia hanya tersenyum sendiri seperti kehilangan akal, langit ditatapnya dengan penasaran, berharap Tuhan mengubah nasibnya. Istrinya berbaring sakit sudah lebih dari 6 bulan. Menurut diagnosa  dokter puskesmas, istrinya  komplikasi jantung, diabetes dan liver. Ia tak punya uang untuk membawa istrinya ke rumah sakit modern.
Sudah 6 bulan  istrinya berbaring. Paling maksimal hanya diberi minyak gosok ditambah pijit, terkadang diberi minuman jahe panas original untuk menghangatkan tubuhnya . Mau dibawa ke rumah sakit takut biaya puluhan juta. Tetapi ia sangat setia pada istrinya. Walaupun hidupnya pas-pasan, namun kisah cintanya selalu mesra. Ia selalu berbesar hati, menanti keajaiban turun. Prinsipnya dari kecil dulu tidak akan berharap belas kasihan sama oranglain ketika mata masih bisa menatap senja. Malam hari ia selalu berjualan angkringan. Pagi harinya mengumpulkan barang rongsokan. Namun ketika  sakit menghampirinya, paru-parunya akan terasa panas karena efek rokok yang selalu dihisapnya. Ia tidak pernah membeli rokok, namun minta tembakau dan cengkeh pada sahabatnya yang nasibnya lebih baik darinya. Kulitnya terkadang berkeriput seperti berada pada suhu dingin 0' Celcius. Ketika sakit menghampiri keduanya, ia hanya berbaring lemas berdua di atas dipan. Kasur  yang lima tahun lalu mendapat  hibah dari tetangganya masih dipakai. Kapuk terbang mencium atap. Lubang-lubang terlihat seperti hiasan. Mbok Nah tetangga sebelah yang nasibnya sedikit lebih baik dari mereka tekun menemaninya. Konon d ketika masih muda, Mbok Nah dan istrinya jadi TKI di timur tengah. Namun Mbok Nah dan istrinya tidak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Karena itulah yang menyebabkan istrinya jatuh sakit. Tiap harinya dipaksa menggendong barang-barang berat yang turun dari kendaraan-kendaraan besar. Selama 7,5 tahun di sana. Saat pulang, istrinya tinggal tulang belulang. Mbok Nah lebih baik nasibnya, hanya terdapat luka bekas setrika menganga di punggung dan tangan kirinya.

*******
Siang hari hawa terasa panas. Lahar dingin merapi meluncur deras menuju persawahan warga melewati derasnya aliran kali code. Matahari mulai naik tepat di atas kepala, namun enggan berlama-lama, sebelum awan hitam mengumpal turun merendah menuju lereng merapi, kemudian menebal menutup bumi. Ia merasa merasa hidup hanya terbagi dua. Ada Brahmana dan Sudra. Kasta paling tinggi dan paling bawah. Ia merasa pada kasta paling rendah, padahal dalam firman-firmanNya selalu dipegangnya. “Manusia yang paling mulai di sisiNya adalah yang paling bertakwa di antara kamu”. Saat kehidupan menghimpitnya tak pernah henti, iman terkadang terpasung, dan moral tergadai. Namun tidak bagi mereka. Mereka  berjuang  dengan selalu berzikir dan mengingat kuasaNya.
Darto menatap sayu. Gula darah istirnya naik hingga mencapai 550, livernya semakin merajalela.  Suhu panas tubuh istrinya hampir mendekati 40' celcius. Ia kemudian memanggil Mbok Nah untuk menemani istinya ke puskesmas terdekat. Dokter memeriksa penyakit istrinya dan  merekomendasikan untuk opname dan operasi. Biaya kamar kelas 3 yang berisi 8 pasien dengan penyakit berbeda-beda itu Rp.93.000/hari. Ia  menatap ruang ICU, entah apa yang dipikirkan. Ia berjalan mondar-mandir menuju depan pintunya dan berhenti sejenak. Diambilnya dompet lusuh dari celana katun yang telah sobek bagian betis. Ada 7 lembar uang ribuan. Ia berpikir ulang. Ditendangnya dinding bercat putih di depannya. Setengah hektar sawah telah dijual, sepeda motor tahun 70an raib diambil sahabatnya tanpa pamit karena terlalu percaya yang berlebihan.
Ia keluar menuju halaman rumah sakit. Ditancapkannya bambu berwarna kuning. Kopiah hitam di atas kepalanya dibuka kemudian diletakkan pada ujung bambu itu. Kemudian ia berdoa, jika Tuhan adil maka uang akan memenuhi kopiah hitam yang sudah tampak coklat kekuning-kuningan. Terlintas di benaknya, jika ia tidak mendapatkan uang pada hari itu juga, ia mengakhiri hidupnya bersama istrinya. Istrinya sedang sholat seraya  berkedap-kedip menggunakan mata dan hati. Tangan tak lagi bisa terangkat. kakinya perih seperti tertusuk jarum 1 kaleng. Jantungnya terasa berhimpit beban berton-ton. Urat lehernya naik turun tak tentu arah. Saat itulah dunia tiada guna. Mbok Mun ingin mati saja dari pada menyusahkan yang hidup. Entah dengan cara apa lagi bisa sembuh. Uang pas-pasan membuatnya semakin tak punya harapan. Hanya berharap Tuhan mengirim malaikat Mikail memberikan uang saat itu juga. 
Senja menyambut. Kopiah hitam itu tidak terisi apa-apa. Orang yang berlalu lalang hanya melihat tingkah laku anehnya. Tidak ada yang memberi satu rupiahpun untuknya. Lebih dari 5 jam ia berdiskusi sama Tuhannya. Namu sia-sia. Saat sempit seperti inilah Ia merasakan ketidakadilan Tuhan. Jika Tuhan adil seharusnya Tuhan mengutus camat, bupati atau walikota untuk membantu masalah finansialnya. Tapi Tuhan benar-benar tidak adil malam ini. Batinnya dengan muka merah temaram.
"Sudah dapat uangnya to?" Mbok Nah mengagetkan lamunannya.
"Belum mbok, mungkin esok hari Tuhan akan memenuhi kopiah hitamku ini" Jawabnya penuh optimis.
"Mana mungkin kopiah hitam itu terisi tanpa ada yang ngisi?" cengir Mbok Nah mulai heran.
"Tunggu saja mbok. Tidak ada yang tidak mungkin ketika saya mau berusaha. Besok atau lusa insyaallah terisi, biar istri saya bisa langsung operasi" jawabnya meyakinkan Mbok Nah.
Entah apa yang terjadi padanya. Kondisi yang sangat miskin masih bisa tersenyum lebar. Mungkin sangat pilu dan sedihnya sehingga memaksakan menghibur dirinya. 

*****

Sudah satu minggu istrinya di rumah sakit. Ia dan Mbok Nah setia menemani. Angkringan tua yang biasanya berjualan di dekat stasiun tugu untuk satu minggu ini di alihkan didepan rumah sakit. Ia izin sama petugas untuk berjualan di sana. Di sela-sela menemani istrinya, ia menyempatkan untuk melayani para pembeli yang tengah besuk di rumah sakit itu. Angkringan tua menjadi napas satu-satunya. Nasi kucing, tahu bacem dan gorengan tiap hari disetor oleh tetangganya. Habis tidak habis ia yang menanggungnya. Terkadang jika tak laku maka bayarnya dicicil.
Angkringan tua yang di bawa ke rumah sakit tidak mendapatkan hasil yang banyak,  kopiah hitan yang ditancapkan di tengah halaman rumah sakit tidak terisi. Ia memutuskan membawa pulang istrinya. Istrinya memang didera penyakit yang menakutkan. Hawa malam berubah menjadi dingin menelusup hingga pori-pori. Satu hembusan nafas ia keluarkan dengan susah payah. Namun semua itu tiada terasa karena Mbok Mun selalu menyimpan ketabahan iman dan tak pernah berhenti berdoa. Tasbih hitam dari kayu cendana selalu berputar dari tangan kanannya. Berdzikir dan beristigfar. Berharap Tuhan memberikan "Kun Fayakunnya" Seketika.

Darto kembali membuat lintingan rokoknya sambil duduk santai di ruang tamu. Tembakau dibumbui cengkeh ditambah kemenyan sedikit biar lebih sedap dan beraroma. Korek api membakar batang rokonya. Kepulan-kepulan asap rokok membumbung ke udara. Ia berkeyakinan bahwa isnpirasi akan muncul ketika rokok itu dihisapnya. Tanpa disadarinya, paru-parunya digerogoti, daya tahan tubuh tidak seprima dulu. Manfaat tidak ada. Namun ia tetap saja mengepulkan asap rokoknya. Ia memandang angkringan tua lewat jendela. Semua tidak berubah. Ia tertegun menunggu vonis dari Tuhan. Pasrah kapan saja malaikat mencabut nyawanya. Hidupnya seperti kapas yang dicelupkan dalam air. Tidak bisa apa-apa lagi.  Ia bergerak duduk di dekat istrinya. Ditatapnya sekujur tubuh istrinya dengan tertegun. Ia masih saja tersenyum dengan ketenangan. Mata mulai terpejam. Jam menunjukkan pukul setengah 3 dinihari. Tiada terasa derai air mata jatuh dari sudut matanya. Gurat kebiru-biruan menampakkan bagaimana menderitanya. Ia tidur dalam bayang-bayang perut kosong. Angkringan tua itu sudah tidak bisa berjualan lagi. Hutang milik tetangganya belum juga terbayar. 
Ia terbangun saat kereta berhenti di stasiun. Suara azan berkumandang dari masjid agung dekat alun-alun utara. Sarung coklat selalu dipakainya. Baju koko satu-satunya selalu ia kenakan untuk sholat 5 waktu. Masih tampak bersih. Hanya saja ketika  musim hujan, sarung berubah warna, karena terkena bercak air kotor yang memercik pada sarungnya. Sepulang dari masjid ia terbayang angkringan tua itu didapatkan dari seorang bapak yang sehari-harinya berjualan di dekat stasiun tugu. Namun ingin merubah hidupnya, bapak tersebut pindah ke Sumatera. Mencari peruntungan di pulau yang masih banyak hutan belantara. Dulu ceritanya siapa saja yang mau transmigrasi kemudian membuka hutan sendiri maka tanah itu akan jadi miliknya. Darto mendapat kabar dari salah satu keluarganya yang berada tidak jauh dari rumahnya bahwa bapak yang dulu menghibahkan angkringan sekarang sudah mempunyai 2 mobil mewah. Ia tidak mau pindah ke sumatera karena nyaman di tanah kelahirannya. Namun kenyataan terkadang jauh dari impian. Nasibnya berbeda dengan impiannya, angkringan tua sudah 2 minggu parkir di belakang rumahnya.
Dompet kulit pemberian istrinya saat menikah dulu masih ada, namun hanya terpampang  di atas meja. Penghasilannya sekarang hanya didapatkan dari mencari barang rongsokan. Tuhan akan memberikan jalan cahaya  pada hambanya yang tidak putus asa. Apa saja ia kerjakan asalkan halal. Dulu ketika berjualan nasi kucing ia  tidak segan-segan untuk menyusuri jalan mulai dari perempatan 0 kilometer malioboro menuju alun-alun selatan. Namun ketika nasi kucing, tahu bacem, cakar ayamnya tidak laku maka akan diberikan siapa saja dengan cuma-cuma. Mulai dari tukang becak, anak jalanan dan terkadang wanita tuna susila yang benar-benar tidak mampu ekonominya akan mendapatkan jatah nasi kucingnya yang hanya berlaukkan sambal dan ikan teri.
*****

Tugu jogja kembali bersolek menjadi menakjubkan. Beberapa gram emas menempel tepat di ujungnya. Warna kunig emas menambah cinta siapa saja yang memandangnya. Menurut cerita dari mbah-mbah dan orang-orang terdahulu, siapa yang memegang tugu jogja suatu saat akan kembali ke kota ini. Tapi entahlah, hanya sebuah mitos atau fakta. Karena semua itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah dan logika. Tugu jogja berjarak 200 meter dari rumahnya. Barangkali karena cuaca tidak menentu. Saat panas hawanya melebihi pulau-pulau yang dilewati garis khatulistiwa. Tetapi kalau dingin mengalahkan dinginnya kaki gunung merapi. Mungkin hawa panas hadir bukan karena pencemaran udara dan pergeseran bumi, tetapi karena atap rumahnya berasal dari seng, dan jarak lantai ke atap hanya sekitar 3,5 meter. Mungkin itu juga yang membuat Darto terkadang tidak betah di rumah lama-lama. Tapi karena cintanya kepada istrinya, ia selalu menyediakan waktu penuh buat istrinya. Tak lupa ketika ia pergi bekerja, Mbok Nah menunggu istrinya di rumah.
"Darto"?panggil Mbok Nah memecahkan kebisingan lalu-lalang motor dan mobil yang melintas melewati depan rumahnya.
"Iya mbok, ada apa?" sahutnya
"Apa sebaiknya kamu jual saja rumah ini buat berobat istrimu?" Mbok Nah memberi saran.
Langit berubah menjadi gelap, angin kencang dari arah barat menyapu sampah-sampah di jalanan, rumah satu-satunya yang ia beli menjadi jaminan untuk operasi istrinya. Tidak ada jalan lain, pinjam uangpun sudah tidak ada yang percaya. Modal iman dan tabah saja tidak cukup. Semua perlu uang. Usaha sudah maksimal, pak Gondo yang dulu menghibahkan angkringan tuanya enggan meminjamkan uang kepadanya. Mungkin karena merasa sudah kaya dan  itu hasil  jerih payahnya. “Enak saja orang miskin hanya pinjam dan meminta”. Batin darto mewakili pak Gondo. Pak Gondo dari dulu bermandi keringat untuk membuka hutan bersama tiga sahabatnya. Sekarang sudah ditanami pohon sawit dan menghasilkan banyak uang. Tetapi tetap saja enggan meminjamkan uangnya ke Darto. Sambil menarik napas, ia menjawab pertanyaan Mbok Nah.
"Iya mbok, rumah ini akan saya jual"
Mbok Nah memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Mentari yang berlayar dari pagi hingga sore tertelan mega mendung yang terus mengepul hitam. Bayang-bayang pohon mangga tepat di depan rumah Mbok Nah mengikuti jejak mentari. Suara-suara piring terbang dari tetangga yang baru yang  tinggal dekat rumahnya menghiasi obrolan mereka. Di ujung jalan orang-orang berlalu lalang menuju stasiun tugu Jogja. Wajah mereka berhias di balik cerita sedih dan gembira. Sedih ketika harus jauh dengan tambatan hatinya dan gembira ketika berjumpa dengan yang dirindukannya. Bunyi suara kereta api menelusup menembus tembok papannya. Bau minyak angin gosok keluar dari kamar istrinya yang sedang berbaring sambil berzikir. Barangkali karena miskin dan tidak berpendidikan menjadikan mereka dianggap tidak bisa apa-apa. Bisanya hanya jualan angrkingan dan mencari barang rongsokan.

*****
Akhirnya rumah harus terjual dengan harga yang cukup untuk istrinya. Mbok Nah yang selalu ada buat mereka berharap tinggal di rumahnya, 
"Terima kasih ya mbok saya diperkenankan tinggal di rumah ini, sambil saya cari rezeki semoga tidak lama lagi saya bisa beli rumah" Darto mengungkapkan isi hatinya
"Iya, tidak apa-apa, di sini dulu sampai kamu nanti dapat rumah" Mbok Nah menjawab
Darto hanya mengangguk-angguk. Ia kemudian tidur melingkar pada kursi. Suami Mbok Nah penghasilannya lumayan. Bekerja sebagai sopir truk pasir milik juragannya. Ketika sehari ada yang membutuhkan pasir kebih dari target, maka suaminya akan mendapatkan uang tambahan.  Darto masih mendengkur, angin malam tak sampai ke dalam. Hanya suara kendaraan lapat-lapat memecah keheningan malam. Langit menepi menemani tidurnya. Televisi di depannya hanya terlihat semu tak berarti. Sudah 2 bulan rusak terkena sambaran petir. Darto menikmati mimpi indahnya. Mungkin sedang bertemu malaikat Mikail.
"Gedebug, prang, pyaar”
Tiba-tiba ia jatuh dari kursi panjangnya. Gelas bergambar orang tua tahun 80an jatuh ke lantai karena tersenoggol lengannya. Beling berserakan, tangannya mengeluarkan darah segar. Darto mencoba bangun dan menyadari apa yang terjadi. Ternyata bermimpi sedang berjumpa malaikat sedang mencambuk orang di neraka karena di dunia tak pernah sholat. Mbok Nah  keluar dari kamarnya menuju ruang tamu. 
"Kenapa kamu ?” Mbok Nah tanya mata masih 5 watt.
"Jatuh dari kursi mbok, tidak apa-apa, hanya sedikit sakit di pegelangan tangan" Darto  menjawab setengah sadar. Mbok Nah masuk dan mengambilkan obat merah untuknya. Lantai berserakan beling-beling pecah. Mbok Nah membersihkan lantainya.. Darto mengambil sarung dan melingkar lagi seperti orang kedinginan.  Ingin melanjutkan mimpinya bersama para malaikat yang sedang menyiksa orang-orang yang tidak menjalankan sholat dan durhaka kepada orangtuanya. Darto senyum-senyum sendiri menikmati tidur yang kedua ini. Mungkin sedang  menukar rasa kesedihan dengan senyum kepada Malaikat. Karena ia berada di singagasana indah, yang di bawahnyaada air deras mengalir jernih.
Azan subuh menyambut pagi. Angin berhembus melewati depan pohon mangga. Gesekan daun-daunnya menyenandungkan lagu kesedihan. Ranting-ranting bergoyang-goyang diterpa angin kencang.
Ia bangun dan mengambil sarung, sajadah dan kopiah warna hitam. Langkah diayunkan menuju masjid yang masih terkumandang suara azan. Istrinya sholat walaupun hanya menyedekapkan tangan seraya mengedipkan mata. Tanpa wudhu. tetapi ketika sakitnya agak reda, Mbok Mun menempelkan tangannya ke tembok yang berdebu. Tayamun untuk mengganti wudhu. Karena ketika terkena air Mbok Mun merasakan dingin yang luar biasa. Masjid ketika subuh hanya terdapat segelintir manusia. Tidak ada satupun pemuda-pemudi. Penghuninya hanya kakek dan nenek yang  berusia di atas 50 tahun.  Mungkin para mudi-mudi masih menikmati tidurnya atau barangkali ketika subuh memanggil mereka baru berhenti dari main game dan begadang. Ia memilih 27 derajat dari pada munfarid hanya 1 derajat. Doanya selalu ia pintakan kepada sang maha pemberi kesembuhah. Ia hanya meminta yang terbaik untuk istrinya. Fajar telah merekah.  Malam gelap berganti cahaya. Ia dan Mbok Nah membawa Mbok Mun menuju rumah sakit. Operasi merupakan jalan satu-satunya menurut dokter.
Istrinya  akhirnya dioperasi, namun fisiknya kurang stabil, Mbok Mun belum juga siuman. Sudah 7 masih belum sadarkan diri. Ia mondar-mandir menanti keajaiban. Putaran tasbih yang juga selalu melingkar di tangannya. Bibir dan hatinya tak pernah berhenti mengucap dzikir. Allah, Allah,Allhh. Syifak, Syifak, Syifak, sembuhkan ya Robbi.
Mendung pekat mengelinding tepat di atas rumah sakit. Bau obat khas rumah sakit tercium hingga halaman depan. 7 hari dokter belum bisa memberikan jawaban yang pasti. Penyakitnya sudah komplikasi. Dokter berharap ia tabah dan tawakkal kepada Allah SWT sambil terus berdoa. Dokter berjalan terburu-buru dari arah ICU. Bergegas menjumpainya
“Pak, Tuhan memberikan yang terbaik buat istrimu, bapak yang sabar. Istri bapak selamat di luar prediksi dokter”
Ia sujud syukur di lantai seraya mengucapkan Alhamdulillah. Tiada kekuatan melainkan kekuasaan dari Allah SWT.
“Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar” suara takbir membanjiri lisannya. Ia berlari menuju kamar di mana istrinya sudah siuman. Dicium kening serta dipeluk istrinya erat-erat walaupun masih setengah sadar.
Satu minggu berlalu, istrinya sudah bisa berjalan pelan-pelan. Operasi livernya berhasil. Tensi darah dan gula darahnya stabil. Di luar perkiraan mereka dan dokter. Berkat berzikir kepadaNya istrinya mendapat kesembuhan dari Allah SWT. Kekuuatan doa terkadang tidak bisa di buktikan secara ilmiah dan logika. Istrinya kembali bisa berjalan, tangannya kembali bisa digerakkan. Ia dan istrinya  ingin menjalani hidup seperti biasa, bermodalkan keyakinan dan ketabahan.

Mendung pekat mengahampirinya. Darto dan istrinya kembali berjualan dengan angkringan tua miliknya. Istrinya membantu untuk meringankan beban Darto.  Tepat jam 22.00 ada angin berhembus sangat kencang, suara petir bergemuruh. Pohon mangga di sebelah angkringannya tumbang kemudian menimpa angkringan tuanya. Dua tubuh suami istri ikut terimpa angkringan tuanya. Kepala Darto terantuk batu dan tubuh istrinya terhimpit angkringannya.. Darah segar mengucur deras. Angkringan tua itu mengakhiri nyawanya.




Tag : cerpen
0 Komentar untuk "Angkringan Tua"

Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan

Back To Top