Zelfeni Wimra Di luar kira-kira, Habib, aku memuai di terik
siang. Serupa menggala tengah hari, aku kulai ditindih cerita tentang embun
yang harus pulang ke relung awan. Ziarahku tiba-tiba dingin. Aku tak kuasa
melarang airmata tumpah ketika memandang madrasah kita dibungkus lumut. Jika
hanya sunyi yang meleleh, aku dapat mengajak pikiranku menyusuri kembali
kisah-kisah lama, mengulas kenangan, ketika aku dan ratusan teman-teman
mengakrabi kitab-kitab, meja, dan bangku-bangku di madrasah ini. Tapi tidak hanya
sunyi yang kutemukan. Aku juga menuai sakit. Di tangga gerbang yang di sisi
atasnya tumbuh sebatang pohon jambu, lumut hijau menjalar angkuh. Dari berbagai
arah, gumpalan lumut yang lain merangkak perlahan seperti mau menggulungku.
Ketika kukayuh langkah menuju peristirahatan terakhirmu,
kurasakan teduh matamu menikamku. Aku tak sanggup menepis bayangmu yang hadir
bersama tumpukan kenangan. Ada suara-suara yang ngiang di selaput gendang:
gemuruh amin kala kau mendoakan kami; riuh tanya-jawab di lokal; keprihatinanmu
terhadap masyarakat di sekitar madrasah yang sampai waktu itu belum juga bisa
menikmati air bersih. Tentang abang-abang becak di pasar kecil yang rela
berkeringat sepanjang musim demi menyuapi keluarga, juga tentang kami yang
harus berhadapan dengan hiruk-pikuk kemajuan yang mendangkalkan iman. Pun, tak
akan kulupakan, Habib, nasihatmu tentang kediaman terakhirmu: ?Bila aku
dipanggil-Nya, makamku adalah sepetak tanah di belakang madrasah. Agar nanti,
ketika kalian sudah kembali ke alamat masing-masing, dan aku berdiam di lahat,
kalian dapat datang, melepas (mungkin) selaksa rindu di depan nisan dan
mengirim doa-doa?? **** Sekali lagi kukeluhkan: banyak hal yang terjadi di luar
kira-kira, Habib.
Tak lama setelah aku tamat dan kembali ke kampung
kelahiranku, kudengar kau dipenjara atas tuduhan terlibat dalam aksi teror yang
dapat mengganggu stabilitas keamanan negara. Aku ngilu mendengarnya. Kalau saja
waktu itu aku tidak sedang terikat kontrak dinas di tempat aku bekerja, aku
pasti datang menjengukmu. Setidaknya aku dapat menemanimu menanggung tuduhan
itu. Tapi, jarak, waktu, juga ikatan-ikatan keduniaan telah mempersempit
pertemuan kita. Sampai akhirnya, kabar paling ngilu kudengar, kau
dipangggil-Nya untuk sebuah janji. Kau dikabarkan menderita gangguan jantung
karena tuduhan itu. Sungguh ngilu mendengarnya. Bertahun pula kemudian, aku
belum juga dapat menjengukmu. Sementara ngilu yang bergelantungan di pucuk
hatiku terus menumpuk. Maafkan aku, Habib. Akulah murid paling malang, murid
yang telah diikat dunia, tak mampu memilih satu dari sekian pilihan. Kesempatan
menjengukmu dalam ritual ziarah terasa dingin, sebab baru kuperoleh
bertahun-tahun sejak kau meninggalkan hiruk-pikuk ini. Mudah-mudahan tidak ada
yang sia-sia, Habib. Seperti harapanmu padaku waktu pertama kali menginjakkan
kaki di madrasah ini.
Aku yang waktu itu datang sendiri tidak diterima panitia
penerimaan santri baru di madrasahmu lantaran tidak datang bersama orang tua.
Aku diminta langsung menghadapmu. Di hadapanmu, aku menggigil. ?Ananda, kenapa
ke sini tanpa orang tua?? ?Ayahku sudah tiada, ibuku lumpuh. Aku ke sini
sendiri, Ustadz?..? ?Sssstt?Jangan panggil aku ustadz. Panggil aku Habib. Kamu
tahu arti habib?? Aku menggeleng. Lugu. ?Habib berarti kekasih. Panggillah setiap
orang ?kekasih?, Nanda, sekalipun hati dan pikiranmu berkata lain. Lalu,
tersenyumlah pada seluruh mata yang memandangmu. Karena bibir diberikan-Nya
sebagai ladang bagi kita, tempat bertanam senyum dan zikir. Hidup mesti
berlaba. Senyum termasuk laba yang harus dibagi-bagi. Sedang zikir, laba untuk
dibawa mati. Tidak boleh ada kesia-siaan. Kau kunyah-kunyah dulu apa yang
kukatakan. Kalau manis jangan ditelan. Jika pahit jangan dimuntahkan,? Aku
kembali mengangguk-angguk. Mengunyah-ngunyah ucapanmu.
Dan aku yakin bahwa pilihanku bukan sesuatu yang
gagah-gagahan. Lalu (dalam keluguan seorang lelaki 13 tahun) kuceritakan padamu
rintangan yang kulalui sebelum berangkat ke madrasah. Dalam tangis yang
ditahan-tahan, kukisah padamu perihal pamanku yang keberatan dengan pilihanku.
?Mengapa madrasah itu yang kau pilih?? cetus Paman. ?Setahun saja di sana
kepalamu bisa gundul dan sekujur tubuhmu kudisan. Paman tidak setuju dengan
sistim pemondokannya. Pengaruh psikologis terhadap anak didik yang dibaurkan
sesama jenis kelamin dalam satu asrama sangat tidak baik. Paman sering
mendengar, di asrama madrasah itu sering terjadi prilaku seks menyimpang:
lesbian, homoseks! Menurut paman, madrasah yang kau pilih itu adalah bentuk
lain dari penjara. Belum lagi kebersihannya.
Aduh! Banyak santri yang terpaksa dirawat di rumah sakit
karena terjangkit penyakit kulit, muntaber. Gangguan pencernaan! Kau paham
maksud Paman? Konkritnya begini: kalau pilihanmu sudah final, maaf, Paman tidak
bisa membantu soal biayanya. Tapi kalau selain madrasah, Paman sedia mendanai
sekolahmu sampai ke tingkat yang lebih tinggi?.? Pamanku seorang pemimpin di
sebuah instansi pemerintah. Karena itu?mungkin?dalam memberi petuah atau
instruksi selalu dengan bahasa yang tegas. Aku, anak tanpa bapak ini, tentu
tidak akan membantah bila Paman sedang berpetuah. Ya, bagaimana lagi. Sudah
tiga tahun, sejak Bapak tiada, biaya sehari-hariku dan dua orang kakakku ada
dalam jaminan Paman. Sementara Bunda, tinggal jasad lemah akibat stroke yang ia
derita.
Setahun sejak Bapak berpulang, Bunda sering menggigil hingga
tak sadarkan diri. Sampai suatu ketika, Bunda tidak dapat lagi berkata-kata.
Separo tubuhnya lumpuh. Lidahnya kelu. Bila ingin meminta sesuatu; mengatakan
sesuatu; hanya dengan isyarat. Dalam kondisi seperti itu, paman, adik mendiang
bapak satu-satunya datang dengan niat yang mulia: membiayai pendidikan kami
bertiga. Alhamdulillah, pikiranku yang nyaris dikuasai putus asa perlahan-lahan
cerah. Aku pun kembali dapat merancang cita-cita. Ketika Paman datang
menyampaikan keberatannya atas pilihanku ingin sekolah di sebuah madrasah,
haruskah aku memaksakan diri? Tentu tidak, Habib. Aku hanya menunduk, menekuri
denyut di dada kiri. Ada peperangan di sana. Saat menengadahkan kepala, kulihat
Bunda saat itu menggerak-gerakkan tangannya yang lumpuh. Bunda seperti ingin
memelukku. Dan matanya, masya Allah, menyulut semangatku. Aku tahu Bunda
mengubur tangisnya dalam-dalam. Ia kuyakini tengah mendukungku, memberi
pembelaan terhadap pilihanku dengan caranya sendiri. Sebentar kemudian Bunda
mengisyaratakan agar aku mengikutinya ke dalam kamarnya.
Di dalam kamarnya yang lusuh, bunda menyodorkan sebuah tas
mungil yang di kulit luarnya tertulis: Toko Mas Murni. Saat kubuka, sebuah
kalung emas beserta surat-surat jual belinya ada dalam kantong tas mungil itu.
Aku mengerti maksud Ibu. Maka, esoknya, setelah menjual kalung emas itu aku
berangkat ke madrasah yang sudah lama menjadi bunga-bunga dalam mimpiku. Aku
tak peduli meski menurut paman, madrasah itu hanya akan membuat kepalaku gundul
dan sekujur tubuhku kudisan. *** Bukankah begitu, Habib? Aku kau keterima
sebagai murid tanpa harus bayar ini, bayar itu. Cuma ada satu syarat: aku harus
bermusuhan dengan segala yang sia-sia. ?Para pencari ilmu,? ucapmu di hadapan seluruh
murid baru kala itu, ?adalah orang-orang yang dirindukan Rasulullah. Beliau
sangat bangga dengan umatnya yang tak mengenal kata selesai dalam menuntut
ilmu, dari buaian hingga ke lahat.
Dari Arab hingga ke Cina?sebuah jarak yang jauh. Artinya, ke
daerah dengan kultur dan agama yang berbeda pun kita dianjurkan mencari ilmu.
Maka mulailah membangun cita-cita kalian dari sini. Jangan bercerai-berai meski
kalian berasal dari daerah yang berbeda. Jaga kesatuan hati kalian. Seperti
yang sering aku sampaikan pada siapa saja: panggillah setiap orang kekasih.
Hidup tanpa kekasih apalah artinya. Sebaliknya, betapa bahagianya, jika semua
orang adalah kekasih. Kiranya kalian menangkap rahasia hidup yang satu ini!
Jangan kalah oleh kengkeng Pak Munir. Suatu kali kengkeng Pak Munir, pemilik
kedai kelontong di depan madrasah kita ini, mengejarku karena melihat aku
membawa tas jinjingan berisi ikan.
Aku cemas, kengkeng itu terlihat buas ingin menggigitku.
Dalam kecemasan itu muncul akal untuk melempar satu ikan ke hadapannya.
Kengkeng itu tiba-tiba menangkap ikan itu dan tiba-tiba saja tampak jinak
terhadapku. Sejak itu, setiap kali berpapasan denganku, kengkeng itu selalu
mengibaskan ekornya, tanda kesetiaan, tanda kepatuhan, persahabatan, dan terima
kasihnya. Tapi, kengkeng itu dibeli oleh orang luar kota. Bertahun antaranya,
kengkeng itu tak pernah lagi kutemukan. Sampai suatu kali, aku berkunjung ke
sebuah perkampungan terpencil guna memenuhi undangan pengajian, aku terpekik di
depan sebuah rumah. Seekor kengkeng tua dan kurapan, menghadangku. Aku mengira
akan digigitnya. Tapi kengkeng itu kelihatan jinak. Ia melompat-lompat girang.
Kuperhatikan dengan teliti. Ternyata kengkeng tua dan kurapan itu tak lain
adalah kengkeng Pak Munir yang bertahun-tahun tak pernah bertemu denganku. Itu
kengkeng, bagaimana dengan kita?? Begitu selalu. Di waktu senggang, biasanya
selepas shalat subuh berjamaah, kau sengaja mengumpulkan kami dan bercerita
tentang apa saja yang sampai kini menjadi simpanan abadi dalam hatiku.
Lantas apakah aku harus percaya bahwa dirimu terlibat aksi
teror yang mengganggu stabilitas keamanan negara yang belakangan menggejala?
Sulit bagiku untuk percaya, Habib. Sedikit bayaknya, aku juga mengerti seputar
wacana stabilitas keamanan itu. *** Sungguh, Habib. Ketika jarak, waktu, serta
ikatan-ikatan keduniaan mampu kuretas dan aku lesa mengunjungi makammu dalam
ritual ziarah, aku tiada mengira kalau yang berwarna hijau di pilar gerbangnya
itu adalah lumut-lumut licin yang menggelincirkan siapa saja yang berjalan di
atasnya. Dalam pikiranku, madrasah itu tengah berganti cat. Tapi pikirankukah
yang keliru atau kenyataan yang kian tak menentu? Ziarahku tiba-tiba dingin.
Langit yang mengatapi simpuhku mendadak kelabu.
Memang tak ada hujan yang turun. Tapi bayang-bayang gelap
yang menghampiriku telah mengguncangkan segenap akal sehat yang kupunya. Aku
mengigil. Saat membuka mata, aku saksikan lumut bergumpal-gumpal mengahadangku.
Aku serasa melihat gemulung awan ditiup badai yang datang dari berbagai arah.
Lumut-lumut itu hendak membungkus madrasah, Habib. Pertama-tama, lumut-lumut
menjalari gerbang madrasah. Perlahan dinding madrasah pun dibalutnya hingga
menghijau. Kemudian, lumut-lumut terus menjalar sampai ke hadapanku, merangkak
dan meliputi sekujur tubuhku yang gigil. Kukedip-kedipkan mata. Orang-orang
yang entah sejak kapan berkerumun di sekelilingku tampak hijau dan kaku
terbalut lumut. Mereka mungkin para guru dan santri masdrasah yang terkejut
melihat kedatanganku. Aku belum sempat mengenali apa sebenarnya yang terjadi,
ketika beberapa pemuda bertubuh kekar menangkap patahan lenganku lalu
melipatnya ke belakang punggungku dengan apitan borgol. ?Anda kami tangkap!
Anda terbukti bersekongkol dengan kelompok Habib Fununi Karim,? ucap salah
seorang yang membelengguku. Aku masih kewalahan mengenali apa yang sebenarnya
terjadi.
Orang-orang yang menangkapku ternyata memakai pakaian dan
atribut yang sama denganku tapi mengapa ia berlaku begitu kasar? Dari
bisik-bisik yang kudengar, aku coba juga mereka-reka keadaan yang sebenarnya.
?Aneh. Ada ?aparat? menangkap ?aparat?,? celetuk seseorang, mungkin salah
seorang dari para santri yang sudah memenuhi halaman madrasah. Mereka (tentu)
sangat terkejut melihat penangkapanku di depan makam Habib Fununi Karim, guru
kebanggaan mereka yang telah tiada. ?Sssst. Jangan asal bicara!? sapa suara
yang lain, ?Yang ditangkap itu salah seorang alumni kita,? suara itu terdengar
dewasa. Kukedipkan-kedipkan lagi mataku. Air yang memenuhinya terus meleleh.
Sampai di atas mobil yang membawaku menjauh, pandanganku belum juga jernih.
Dari kejauhan, (masih di luar kira-kira, Habib), lumut yang terus
bergulung-gulung telah membungkus sekujur madrasah kita. Tak satu pun celah
tersisa.
Cerpen yang menurut saya menarik, menginspirasi,
mengharukan, dan semoga kita diberikan langkah yang benar yang sesuai tata
aturan yang dituliskan Oleh-Nya. Aamiin.
Baca Juga : Cerpen Renungan
Tag :
cerpen
1 Komentar untuk "Madrasah Lumut"
Sangat Menyentuh. Bagus Cerpennya.
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan