"Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi yang lainnya"

Selamat Datang di Sofyan Blog's - "Kesuksesan hanya milik mereka yang mau berjuang"

Kisah dari seberang

ilustrasi gambar
Sekali-kali ingin bercerita dan berbagi tentang TKI. Cerpen ini sudah lama sekali saya tulis. Ingin sekali berbagi dan menjadi bagian dari kepedulian saya terhadap TKI. Mungkin dari cerita ini ada pesan yang ingin saya sampaikan dan semoga sampai ke masyarakat yang ingin menjadi TKI. Lebih baik mana kerja di negeri orang dengan kerja di negeri sendiri? Atau lebih gamblangnya menjaga keluarga sendiri.


Ini cerita tentang TKI, yang tiap harinya muncul di media ketika terjadi penganiayaan, pemerkosaan, dan tak dimanusiakan. Baik itu TKI yang bekerja di Timur Tengah, Asia, atau di mana saja. Yang jelas, berita buruk, dan menyedihkan selalu ditampilkan. Mungkin karena kisah mereka menarik untuk dijadikan headline. Tapi kali ini aku ingin bercerita dengan caraku sendiri tentang TKI. Dan cerita ini terinspirasi dari kisah hidupku bersama nenek. Dan tak jarang aku pun sering menarik napas panjang jika terdengar olehku derita mereka.
"Siapa yang salah jika mereka dianiaya?".
Ucap kang Seto saat nongkrong di warung kopi dekat kali yang merupakan warung kopi nenekku.
"Jelaslah yang salah pemerintah, gak becus ngurus para pekerja. Bisanya cuma memanfaatkan pendapatan devisa saja", jawab Fikri, sang intelektual Muda yang sudah meraih gelar sarjana.
"Akh, jangan menyalahkan begitu. Pikirkan saja urusan kita masing-masing yang masih gak karuan  ini.". Celetuk Bejo yang belajar sok bijak.
"Siiip..", kang Seto memberikan dua jempol untuk Bejo. Bayar kopi kemudian beranjak pulanglah ia dengan tergesa karena pagi hari sebentar lagi datang. Mereka sering nongkrong di sini. Sehingga aku sering mendengar mereka cerita tentang nasib tenaga kerja yang sering menjadi obrolan mingguan kang Seto dan kawan-kawannya.


Kata nenekku, para TKI yang dikirim ke luar negeri karena terlalu banyak pengangguran di negeri ini. Indonesia, tanah air yang kita cintai ini tak bisa menyediakan lapangan kerja yang layak bagi mereka. Sehingga menjadi TKI merupakan ikhtiar paling akhir dan mungkin yang paling baik dari beberapa pilihan yang sudah dipikirkan oleh TKI. Kata nenekku juga, beliau bilang bahwa TKI pada awalnya dikirim oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan Suriname untuk  menjadi kuli kontrak. Dan mereka kebanyakan dikirim dari Jawa, Madura, Sunda, dan sekitarnya. Kemudian sampai sekarang banyak TKI yang bekerja di luar negeri dengan tujuan memperbaiki kesejahteraan hidupnya. Upah yang diberikan cukup besar, tapi resiko yang dihadapi di negeri orang jauh lebih besar. Beruntung jika mendapatkan majikan yang waras, namun jika majikannya galak dan tak bermoral, TKI harus bisa menjaga dirinya sebaik mungkin.

Cerita di atas mungkin sudah sering Anda dengar, tapi cerita kali ini merupakan bentuk kepeduliaan terhadap sesama. Bukan masalah obrolan yang setiap hari menjadi bahan berdebat dan berujung saling menyalahkan. Dulu saat mengaji di pesantren, aku pernah belajar bab “perbudakan”. Mungkin itu juga yang sekarang terngiang dalam pikiranku untuk tetap menolak adanya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Bukan hanya masalah ekonomi mereka yang terkesaan bisa teratasi dengan bekerja di luar negeri. Namun dampak negatifnya bisa jadi lebih buruk dari yang kita bayangkan. “Di negara Arab, mungkin ada sebagain majikan yang keliru menafsirkan kitab sehingga pembantu kerap kali dianggap budak/babu.”, begitu ucap guru ngajiku saat aku belajar di pesantren. Padahal jika dipelajari, penafsiran itu bisa jadi salah karena tidak memahami isi kitab secara utuh. Mereka tahunya hanya itu-itu saja dan membenarkan pengetahuan yang baru sedikit. Padahal saat ini bukan zaman perang seperti dulu. Mana ada budak yang kalah perang, dan menjadi tawanan.
"Ini jelas sangat berbahaya jika para majikan menafsirkan yang demikian. Muridku harus belajar dan paham betul ketika  akan menafsirkan kitab, wallauhu'alam.", begitu seingatku  kata terakhir yang diucapkan olehnya saat menutup ngajinya.
***

Sesungguhnya jika Anda pelajari, banyak juga TKI yang sukses di luar negeri. Mereka bisa mengirimakan uang kepada sanak familinya  dengan ratusan dolar, seakan begitu mudahnya mendapatkan uang di negeri orang. Padahal di kampung sebelah, aku mendengar ibu mereka mati dipasung karena membunuh majikan.  Kemudian  divonis mati karena dituduh melakukan pembunuhan berencana. Hakim pun  tanpa segan mengetuk palu tanda hukuman pasung dijalankan. Padahal ketika aku dan nenekku silaturrahmi ke sana, keluarganya bercerita bahwa tidak pernah ada niat pembunuhan berencana itu. Ia hanya membela diri karena majikannya memaksa menggaulinya. Namun apa daya, KBRI yang dibanggakan juga tidak bisa membela warganya yang di sana.

Ini jelas membuat miris hati kita. Hanya, kemudian muncul berbagai persoalan yang membuat berita tentang TKI dialihkan dengan kasus korupsi dan hal-hal kecil lainnya yang tak begitu penting.
"Kau tahu masalah TKI sebenarnya, kang?”, ucap Fikri  kepada kang Bejo, dan lagi-lagi di warung kopi nenekku seminggu setelah obrolan yang lalu.
"Gak tau, dan gak mau tahu sekarang. Paling ya begitu-begitu saja.", ketus kang Bejo sambil meneguk secangkir kopi didepannya.
"Kudengar tetangga kita meninggal dipasung. Apa tanggapanmu mendengar berita itu, kang?".
"Sudahlah, aku tak mau tahu itu juga. Sudah hampir satu tahun kita diskusi tentang itu, tapi tak ada hasilnya. Yang penting aku mendoakan semoga yang  meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Itu saja kang.".
"Hmmm.. begitu, ya..”, sambil mengambil handphone dari sakunya lalu membaca pesan yang masuk sambil tertawa sendiri.

***

Saat kubaca koran tadi pagi, kisah dari seberang kembali membuatku mengelus dada. Kisah tentang TKI yang dihukum pasung itu telah usai. Namun muncul lagi berbagai persoalan. Ada lagi TKI yang terancam hukuman gantung di negara tetangga. Lagi-lagi ia tidak bisa berbuat banyak. Hal itu karena keluarga yang ditinggalkan di tanah air tidak memiliki biaya walaupun hanya sekadar membesuknya sebelum ajal menjemputnya. Dulu ketika aku masih duduk di sekolah dasar, nenek sering memberi saran kepada tetangga yang ingin menjadi TKI agar mengurungkan niatnya.
"Di rumah saja kamu, Minah. Ngurus anak dan suamimu. Tidak perlulah kamu pergi jauh-jauh sampai ke luar negeri.", begitu nasihat nenek untuk Minah.
"Iya nek, masih dipikir juga untuk menjadi pekerja di sana, masih bingung.", jawab Minah sembari memijat pundak nenek.
"Jangan berharap uang banyak, tapi pikirkan juga masa depanmu dan anak-anakmu. Cari saja tambahan rezeki di sini, walaupun sedikit tapi kamu dekat dengan keluarga.", nenek melanjutkan. Minah terdiam sejenak, lalu memijit kembali, “Iya nek.”, jawab Minah mengiyakan nasihat nenek. Nenekku selalu memberi saran untuk siapa saja yang mau ke luar negeri agar memikirkan rencananya itu matang-matang. Dan lagi-lagi, jangan karena masalah ekonomi kemudian mengambil pilihan menjadi pekerja di luar negeri. Memang tidak salah. Banyak yang sukses di sana lalu pulang membawa berita bahagia. Namun tidak sedikit pula, kita mendapati kabar yang memilukan dari sana.

Jika orang tahu, nenekku hanya menjaga warung kopi kecil miliknya. Atapnya berasal dari rumbia, dan tiangnya terbuat dari bambu petung belakang rumah. Hanya berbekal keahlian itu, setiap harinya ia bisa menghidupiku yang merupakan cucu satu-satunya. Dan nenek tidak pernah berpikir ke luar negeri. Kehidupan kami juga apa adanya. Kakus saja masih model cemplung, dan baunya menyengat hingga ke atas. Berbeda dengan tetangga lain yang sudah memiliki kakus model leher angsa. Tapi beliau mengajarkan kami untuk selalu kuat menjalani hidup. Harus istiqomah dan qona’ah. Dan untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi nasihat yang sama “Pilihan kerja di dalam negeri jauh lebih baik daripada di luar negeri. Jangan pernah kau pergi ke sana.”.

            Dari sini, seharusnya bisa dipetik nasehat dari nenek. Betapa ia sayang kepadaku. Bukan hanya itu, beliau juga sayang terhadap tetangga-tetanga sebelah. Tidak jarang ketika kang Seto, Bejo, dan Fikri mampir di warung kopinya, beliau meminta mereka untuk menasehati tetangganya agar di rumah saja. Ngurus suami dan anak. Meski begitu, mereka masih saja tidak menggubris ucapan nenek.
“Suami-suami mereka juga tidak bekerja, terus bagaimana mereka menghidupi keluarga mereka, nek? Biarkan saja istri-istrinya bekerja ke luar negeri asalkan hidup mereka  sejahtera.”


Jawaban demikianlah yang selalu hadir di telinga nenek ketika sebagian warga ngumpul di warung kopinya. Dan paling banter, nenek hanya ngedumel sendiri di dapur. Tentu saja aku juga menyadari bahwa niat nenek yang sekadar memberi saran dan sedikit solusi itu mulia. Tujuannya adalah agar para pekerja yang ingin hijrah ke negeri orang mengurungkan niatnya demi kebaikan mereka juga. Namun semua niat baik terkadang hanya sia-sia saja jika tidak ada yang mau mendengarkannya. Dan akulah satu-satunya yang menyetujui niat baik nenek. Biarkan saja tetangga menganggapku anak yang baru beranjak remaja dan belum tahu masalah TKI. Tapi setidaknya berita yang kudengar selalu menyajikan informasi yang membuat aku jadi ngilu. Dari itulah aku menganggap saran nenek adalah benar. Walaupun sesungguhnya aku belum tahu pasti.

Tag : cerpen

Related Post:

0 Komentar untuk "Kisah dari seberang"

Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan

Back To Top