![]() |
ilustrasi gambar |
Sekali-kali ingin bercerita dan berbagi tentang TKI. Cerpen ini sudah lama sekali saya tulis. Ingin sekali berbagi dan menjadi bagian dari kepedulian saya terhadap TKI. Mungkin dari cerita ini ada pesan yang ingin saya sampaikan dan semoga sampai ke masyarakat yang ingin menjadi TKI. Lebih baik mana kerja di negeri orang dengan kerja di negeri sendiri? Atau lebih gamblangnya menjaga keluarga sendiri.
Ini cerita tentang TKI, yang tiap harinya muncul di media
ketika terjadi penganiayaan, pemerkosaan, dan tak dimanusiakan. Baik itu TKI
yang bekerja di Timur Tengah, Asia, atau di mana saja. Yang jelas, berita
buruk, dan menyedihkan selalu ditampilkan. Mungkin karena kisah mereka menarik
untuk dijadikan headline. Tapi kali
ini aku ingin bercerita dengan caraku sendiri tentang TKI. Dan cerita ini
terinspirasi dari kisah hidupku bersama nenek. Dan tak jarang aku pun sering
menarik napas panjang jika terdengar olehku derita mereka.
"Siapa yang salah jika mereka dianiaya?".
Ucap kang Seto saat nongkrong di warung kopi dekat kali yang
merupakan warung kopi nenekku.
"Jelaslah yang salah pemerintah, gak becus ngurus para pekerja. Bisanya cuma memanfaatkan pendapatan
devisa saja", jawab Fikri, sang intelektual Muda yang sudah meraih gelar
sarjana.
"Akh, jangan menyalahkan begitu. Pikirkan saja urusan kita
masing-masing yang masih gak karuan ini.".
Celetuk Bejo yang belajar sok bijak.
"Siiip..", kang Seto memberikan dua jempol untuk
Bejo. Bayar kopi kemudian beranjak pulanglah ia dengan tergesa karena pagi hari
sebentar lagi datang. Mereka sering nongkrong di sini. Sehingga aku sering
mendengar mereka cerita tentang nasib tenaga kerja yang sering menjadi obrolan
mingguan kang Seto dan kawan-kawannya.
Kata nenekku, para TKI yang dikirim ke luar negeri karena terlalu
banyak pengangguran di negeri ini. Indonesia, tanah air yang kita cintai ini
tak bisa menyediakan lapangan kerja yang layak bagi mereka. Sehingga menjadi
TKI merupakan ikhtiar paling akhir dan mungkin yang paling baik dari beberapa
pilihan yang sudah dipikirkan oleh TKI. Kata nenekku juga, beliau bilang bahwa TKI
pada awalnya dikirim oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan Suriname
untuk menjadi kuli kontrak. Dan mereka
kebanyakan dikirim dari Jawa, Madura, Sunda, dan sekitarnya. Kemudian sampai sekarang
banyak TKI yang bekerja di luar negeri dengan tujuan memperbaiki kesejahteraan
hidupnya. Upah yang diberikan cukup besar, tapi resiko yang dihadapi di negeri
orang jauh lebih besar. Beruntung jika mendapatkan majikan yang waras, namun
jika majikannya galak dan tak bermoral, TKI harus bisa menjaga dirinya sebaik
mungkin.
Cerita di atas mungkin sudah sering Anda dengar, tapi cerita
kali ini merupakan bentuk kepeduliaan terhadap sesama. Bukan masalah obrolan
yang setiap hari menjadi bahan berdebat dan berujung saling menyalahkan. Dulu
saat mengaji di pesantren, aku pernah belajar bab “perbudakan”. Mungkin itu
juga yang sekarang terngiang dalam pikiranku untuk tetap menolak adanya
pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Bukan hanya masalah ekonomi mereka yang
terkesaan bisa teratasi dengan bekerja di luar negeri. Namun dampak negatifnya
bisa jadi lebih buruk dari yang kita bayangkan. “Di negara Arab, mungkin ada
sebagain majikan yang keliru menafsirkan kitab sehingga pembantu kerap kali dianggap
budak/babu.”, begitu ucap guru ngajiku saat aku belajar di pesantren. Padahal
jika dipelajari, penafsiran itu bisa jadi salah karena tidak memahami isi kitab
secara utuh. Mereka tahunya hanya itu-itu saja dan membenarkan pengetahuan yang
baru sedikit. Padahal saat ini bukan zaman perang seperti dulu. Mana ada budak
yang kalah perang, dan menjadi tawanan.
"Ini jelas sangat berbahaya jika para majikan menafsirkan
yang demikian. Muridku harus belajar dan paham betul ketika akan menafsirkan kitab, wallauhu'alam.",
begitu seingatku kata terakhir yang
diucapkan olehnya saat menutup ngajinya.
***
Sesungguhnya jika Anda pelajari, banyak juga TKI yang sukses
di luar negeri. Mereka bisa mengirimakan uang kepada sanak familinya dengan ratusan dolar, seakan begitu mudahnya
mendapatkan uang di negeri orang. Padahal di kampung sebelah, aku mendengar ibu
mereka mati dipasung karena membunuh majikan.
Kemudian divonis mati karena dituduh
melakukan pembunuhan berencana. Hakim pun tanpa segan mengetuk palu tanda hukuman pasung
dijalankan. Padahal ketika aku dan nenekku silaturrahmi ke sana, keluarganya
bercerita bahwa tidak pernah ada niat pembunuhan berencana itu. Ia hanya
membela diri karena majikannya memaksa menggaulinya. Namun apa daya, KBRI yang
dibanggakan juga tidak bisa membela warganya yang di sana.
Ini jelas membuat miris hati kita. Hanya, kemudian muncul berbagai
persoalan yang membuat berita tentang TKI dialihkan dengan kasus korupsi dan
hal-hal kecil lainnya yang tak begitu penting.
"Kau tahu masalah TKI sebenarnya, kang?”, ucap Fikri kepada kang Bejo, dan lagi-lagi di warung kopi
nenekku seminggu setelah obrolan yang lalu.
"Gak tau, dan gak mau tahu sekarang. Paling ya
begitu-begitu saja.", ketus kang Bejo sambil meneguk secangkir kopi
didepannya.
"Kudengar tetangga kita meninggal dipasung. Apa
tanggapanmu mendengar berita itu, kang?".
"Sudahlah, aku tak mau tahu itu juga. Sudah hampir satu
tahun kita diskusi tentang itu, tapi tak ada hasilnya. Yang penting aku
mendoakan semoga yang meninggal dalam
keadaan khusnul khotimah. Itu saja kang.".
"Hmmm.. begitu, ya..”, sambil mengambil handphone dari sakunya lalu membaca
pesan yang masuk sambil tertawa sendiri.
***
Saat kubaca koran tadi pagi, kisah dari seberang kembali
membuatku mengelus dada. Kisah tentang TKI yang dihukum pasung itu telah usai.
Namun muncul lagi berbagai persoalan. Ada lagi TKI yang terancam hukuman gantung
di negara tetangga. Lagi-lagi ia tidak bisa berbuat banyak. Hal itu karena
keluarga yang ditinggalkan di tanah air tidak memiliki biaya walaupun hanya sekadar
membesuknya sebelum ajal menjemputnya. Dulu ketika aku masih duduk di sekolah
dasar, nenek sering memberi saran kepada tetangga yang ingin menjadi TKI agar
mengurungkan niatnya.
"Di rumah saja kamu, Minah. Ngurus anak dan suamimu.
Tidak perlulah kamu pergi jauh-jauh sampai ke luar negeri.", begitu
nasihat nenek untuk Minah.
"Iya nek, masih dipikir juga untuk menjadi pekerja di
sana, masih bingung.", jawab Minah sembari memijat pundak nenek.
"Jangan berharap uang banyak, tapi pikirkan juga masa depanmu
dan anak-anakmu. Cari saja tambahan rezeki di sini, walaupun sedikit tapi kamu
dekat dengan keluarga.", nenek melanjutkan. Minah terdiam sejenak, lalu memijit
kembali, “Iya nek.”, jawab Minah mengiyakan nasihat nenek. Nenekku selalu
memberi saran untuk siapa saja yang mau ke luar negeri agar memikirkan
rencananya itu matang-matang. Dan lagi-lagi, jangan karena masalah ekonomi
kemudian mengambil pilihan menjadi pekerja di luar negeri. Memang tidak salah.
Banyak yang sukses di sana lalu pulang membawa berita bahagia. Namun tidak
sedikit pula, kita mendapati kabar yang memilukan dari sana.
Jika orang tahu, nenekku hanya menjaga warung kopi kecil
miliknya. Atapnya berasal dari rumbia, dan tiangnya terbuat dari bambu petung
belakang rumah. Hanya berbekal keahlian itu, setiap harinya ia bisa
menghidupiku yang merupakan cucu satu-satunya. Dan nenek tidak pernah berpikir
ke luar negeri. Kehidupan kami juga apa adanya. Kakus saja masih model cemplung, dan baunya menyengat hingga ke
atas. Berbeda dengan tetangga lain yang sudah memiliki kakus model leher angsa.
Tapi beliau mengajarkan kami untuk selalu kuat menjalani hidup. Harus istiqomah dan qona’ah. Dan untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi nasihat yang sama “Pilihan
kerja di dalam negeri jauh lebih baik daripada di luar negeri. Jangan pernah
kau pergi ke sana.”.
Dari sini,
seharusnya bisa dipetik nasehat dari nenek. Betapa ia sayang kepadaku. Bukan
hanya itu, beliau juga sayang terhadap tetangga-tetanga sebelah. Tidak jarang
ketika kang Seto, Bejo, dan Fikri mampir di warung kopinya, beliau meminta
mereka untuk menasehati tetangganya agar di rumah saja. Ngurus suami dan anak. Meski
begitu, mereka masih saja tidak menggubris ucapan nenek.
“Suami-suami mereka juga tidak bekerja, terus bagaimana mereka
menghidupi keluarga mereka, nek? Biarkan saja istri-istrinya bekerja ke luar
negeri asalkan hidup mereka sejahtera.”
Jawaban demikianlah yang selalu hadir di telinga nenek ketika
sebagian warga ngumpul di warung
kopinya. Dan paling banter, nenek hanya ngedumel sendiri di dapur. Tentu
saja aku juga menyadari bahwa niat nenek yang sekadar memberi saran dan sedikit
solusi itu mulia. Tujuannya adalah agar para pekerja yang ingin hijrah ke
negeri orang mengurungkan niatnya demi kebaikan mereka juga. Namun semua niat
baik terkadang hanya sia-sia saja jika tidak ada yang mau mendengarkannya. Dan
akulah satu-satunya yang menyetujui niat baik nenek. Biarkan saja tetangga
menganggapku anak yang baru beranjak remaja dan belum tahu masalah TKI. Tapi
setidaknya berita yang kudengar selalu menyajikan informasi yang membuat aku
jadi ngilu. Dari itulah aku menganggap saran nenek adalah benar. Walaupun sesungguhnya
aku belum tahu pasti.
Tag :
cerpen
0 Komentar untuk "Kisah dari seberang"
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan