Dulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, nuansa kehidupan masih terlihat secara utuh dan asli. Dalam arti masyarakat masih mengedepankan kepentingan sosial seperti gotong-royong, kerja bakti bersama tiap seminggu sekali dan pos ronda penuh dengan bapak-bapak menjaga keamanan desa dengan nuansa penuh keakraban. Namun itu semua sedikit saya jumpai di zaman yang biasa di sebut era globalisasi, ada juga yang menyebut sebagai era teknologi. Hal tersebut sangat dirasakan kalangan dewasa dan remaja yang merasa jiwa sosial yang ada zaman modern ini sudah tergerus habis. Bahkan mereka sering mengedepankan lu lu, gua gua sudah menjadi hal biasa. Ini semua disebabkan karena manusia tidak merasa memiliki lagi apa itu kebersamaan, mereka sudah tidak paham bahasa jawa "Mangan ora mangan yang pentinng kumpul". Mereka dihadapkan pada kehidupan yang serba mewah, serba teknologi dan serba instan. Dengan demikian sudah bisa dibaca dengan baik kalau budaya konvensional yang dulu selalu ada lama-lama akan hilang dan menjadikan manusia merasa tidak butuh dengan yang lainnya.
Namun fenomena itu bukan hanya dirasakan kalangan remaja dan dewasa. Pada anak-anak pun demikian. Sekarang anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar sudah diperbolehkan membawa telepon genggam. Saat pulang sekolah pun mereka lebih suka bermain game online sampai larut malam, mereka terkadang pulang kalau sudah mengantuk. Berbeda dengan zaman dulu yang masih belum ada telepon genggam dan game online. Anak-anak pada masa itu termasuk saya akan bermain lompat tali, gambar, kelereng, dan main patil lele atau dalam bahasa jawa benthik. Suasana keakbaran dan kebersamaan terasa banget saat itu. Mereka akan riang gembira bermain bersama. Pelataran rumah masih luas, pepohonan di desaku juga masih banyak dan tinggi-tinggi. Angin pun masih terasa sejuk, sehingga anak-anak bermain dengan nyaman. Malam hari pun demikian, mereka akan bermain petak umpet, menjaga beteng masing-masing agar tidak di masuki musuh dan masih banyak lagi. Beda kan dengan sekarang?
Itulah fenomena nyata yang terjadi saat ini. Anak-anak sudah tidak lagi manjadi anak yang santun, teknologi dan film-film yang tidak mendidik baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi mereka. Anak-anak dididik dengan tontonan yang kurang mencerminkan jiwa anak-anak. Film anak-anak pun harus dipilah-pilah. Banyak film yang mengajarkan membohongi orang tua, berani dengan orang tua dan lain-lain. Ini jelas sudah sangat menyedihkan sekali. Kapan aku dapatkan suasana seperti dulu yang terasa indah dan damai. Entahlah, semoga rembulan kembali menyinari bumi pada malam itu saat kami bermain cublak-cublak sueng dan matahari menemani kami kembali saat aku berlari berkejar-kejaran saat main gobak sodor. Aku rindu saat-saat seperti itu. Semoga ada yang terbuka hatinya kembali memperjuangkan masa-masa kecil kami yang saat ini telah hilang.
Sumber gambar 1
Sumber gambar 2
Sumber gambar 1
Sumber gambar 2
Tag :
inspirasi,
Serba-serbi
0 Komentar untuk "Memandang Masaku yang Telah Hilang"
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan