![]() |
sumber gambar |
Jika kita telusuri secara seksama, pesantren mencetak penulis-penulis handal. Pesantren yang dimaksud adalah pesantren-pesantren modern yang telah membangun jaringan kepenulisan. Di Madura, ada pesantren Al-Amin dan An-Nuqoyah yang mencetak penulis dan penyair-penyair hebat. Mungkin ada pesantren-pesantren lain yang tidak terekspos media.
Selain mengaji tentang fikih, nahwu, sorof dan lain sebagainya, para santri diajarkan sastra lewat berbagai cara. Ada bengkel puisi yang khusus bergelut dalam dunia puisi. Di asuh oleh ustadz yang sudah mahir dalam dunia literasi. Belajarnya bukan hanya di pesantren, terkadang sore hari diajak ke atas bukit. Di sanalah para santri yang ingin belajar puisi untuk menulis apa saja tentang alam, hidup dan apa pun. Imajinasi dan inspirasi digabungkan kemudian melahirkan puisi yang syarat makna.
Selain mengaji tentang fikih, nahwu, sorof dan lain sebagainya, para santri diajarkan sastra lewat berbagai cara. Ada bengkel puisi yang khusus bergelut dalam dunia puisi. Di asuh oleh ustadz yang sudah mahir dalam dunia literasi. Belajarnya bukan hanya di pesantren, terkadang sore hari diajak ke atas bukit. Di sanalah para santri yang ingin belajar puisi untuk menulis apa saja tentang alam, hidup dan apa pun. Imajinasi dan inspirasi digabungkan kemudian melahirkan puisi yang syarat makna.
Dalam pengembaraannya, tentu santri harus mengetahui ilmu agama. Pun tidak salah juga jika harus belajar ilmu-ilmu lain. Dari sana pula santri-santri bisa membiayai hidup selama di pesantren. Maka tidak heran jika santri di Madura setiap hari mengirim tulisan ke media-media cetak dan sosial. Dan tak kalah mentereng santri sana seringkali puisi-puisinya diterbitkan oleh Horison. Padahal lolos ke horison mungkin perlu waktu dan tulisan yang benar-benar bagus.
Dengan diterbitkannya karya-karya santri, ada uang saku yang diberikan kepada santri. Sebagai hasil dari jerih payah. Tak heran bait-bait puisi lahir dari goresan pena para santri. Setiap hari mengasah diri untuk terus menghasilkan puisi dan tulisan-tulisan laik dan menarik. Maka santri-santri di sana mendapat sebutan "Santri-santri puitis". Bukan hanya di Madura, di pesantren-pesantren modern yang lain tentunya sudah ada bagian khusus yang belajar tentang sastra. Namun di Madura santri-santrinya tak mau kalah. Itu pun juga didukung oleh elemen pesantren yang memberikan dukungan penuh kepada para santri.
Malam hari setelah para santri menghapal bait-bait nadom, memahami nahwu sorof yang membuat kepala botak, mereka akan diskusi tentang dunia kepenulisan. Tak hanya menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Arab pun dipakai untuk diskusi. Ruang tak terbatas untuk para santri mengasah skillnya. Pisau akan tajam jika diasah dengan cara yang benar dan asahan yang baik pula, Begitu pula para santri, tak lelah membolak-balikkan kata untuk mendapatkan sebuah kalimat yang benar-benar bermakna.
Setiap hari di sana terdengar remang-remang suara mengaji dari segala penjuru. Tradisi sastra Arab identik dengan puisi. Penuh makna yang bisa dilahirkan dari diskusi dan belajar tradisi peradaban bahasa Arab.Para santri tak segan membuat sintesa dan merangkum untuk membuat bait-bait syair. Apakah kemudian kita akan diam saja? Sedangkan para santri mampu untuk menulis dan membuat puisi. Padahal jadwal mengaji dan kegiatan lain menanti mereka.
Tag :
Pojok Pesantren,
Serba-serbi
0 Komentar untuk "Dari Pesantren Lahir Penulis Handal"
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan