Sesekali bolehlah
anda pergi menjumpai anak-anak jalanan, pemulung, atau siapa saja yang bisa
menyentuh hidup anda. Karena banyak di antara kita yang hanya bercermin dengan
orang-orang sekitarnya. Mereka tidak peduli dengan anak jalanan. sering
melecehkan mereka, dan tidak jarang pula mengeluarkan sumpah serapah kepada
mereka ketika menjumpainya dipersimpangan jalan-jalan ibu kota. Cobalah anda
jumpai mereka, apa masalah yang dihadapinya, apa betul mereka merupakan anak
yang kurang mampu? Atau benar cerita orang bahwa mereka ada yang mengendalikan.
Misalnya preman, atau sesamanya.
![]() |
Sumber Gambar |
Yang harus kita
ketahui bahwa apa yang dikatakan orang itu belum tentu benar. Anda akan tahu
bahwa mereka bukan orang kaya dengan cara anda menjumpainya. Jika sulit ya cari
tahu dari orang lain atau warga sekitar. Jika anda amati, wajah anak-anak
jalanan masih polos dan lugu. Mereka masih bisa dididik agar menjadi manusia
yang berguna nantinya. Tapi terkadang ini semua hanya sebatas mimpi. Bukan kita
tidak bisa membimbing mereka, tetapi mereka telah nyaman dengan hidupnya.
Bisa anda bayangkan,
pernah ada cerita bahwa anak jalanan, atau pengemis mendapatkan uang yang
fantastis setiap bulannya. Bahkan lebih dari 5 juta. Kemudian pemerintah daerah
memiliki i'tikad baik untuk menjadikan mereka sebagai karyawan. Semisal Office
Boy. Namun apa jawab mereka, "Akh, saya lebih baik menjadi pengemis karena
yang saya dapatkan jauh lebih banyak dari pada menjadi OB". Padahal jika
anda tahu, yang ditawarkan pemerintah daerah melebihi upah UMR, mereka ingin
digaji 2 juta. Tapi ditolak.
Inilah potret
kehidupan kita. Susah menebak mana yang sebaiknya harus dilakukan. Niat baik
tanpa didasari kemauan yang keras hasilnya akan nihil. Lihat saja,
di persimpangan jalan, toko-toko, dan bahkan sampai ke rumah-rumah pengemis
setiap hari berdatangan. Ternyata hasil dari meminta-minta cukup siginifikan.
Inilah yang menyebabkan mereka tidak mau bekerja. Kita tidak memberinya
terkadang merasa kasian, tapi ketika memberinya malah membuat mereka tambah
bermalas-malasan.
Kemudian yang menjadi
harapan adalah bagaimana pemerintah bisa memberi masukan dan saran agar mereka
meninggalkan profesi mereka. Satpol PP misalnya, sudah berapa kali menangkap
mereka dan diberikan pengarahan, namun hasilnya juga sia-sia. Mungkin 3 hari
sampai 1 minggu mereka menyadari, tapi setelah itu mengulanginya lagi. Benar
bukan? Yang jelas berdoalah untuk mereka, siapa tahu mereka bisa berubah.
Ketika ikhtiar kita sudah dijalankan, maka jalan terakhir adalah berdoa. Semoga
Indonesia bebas dari pengemis, dan kembali mau bekerja selayaknya para pekerja
yang lain. Asal halal dan baik. Aaminn.
Tulisan di atas sama sekali tidak berniat mengenyampingkan anak jalanan atau siapa saja. Tulisan tersebut hanya sebuah refleksi bagaimana kita menyikapi fenomena sosial yang memang belum ada jalan keluarnya. Semua pasti ada baik dan buruknya. Maka kita harus bersikap bijaksana melihat kondisi seperti ini--di tengah rupiah yang terus melambung--kok sampe rupiah segala. Semoga tulisan ini membawa manfaat.
Baca juga: Ngerinya Negeriku.
Tag :
Refleksi
0 Komentar untuk "Potret Anak Jalanan: Bagaimana Kita Menyikapinya?"
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan