"Jika tak
berkenan menunggu hadirnya pagi, cobalah kau paksa pejamkan matamu itu
latifa?"
"Tetap saja aku tak bisa" Jawabnya.

***
Pagi kembali. Calon-calon sarjana muda berangkat menuju kampusnya.
Berharap cepat mendapat gelar sarjana tanpa kesusahan--pembimbing yang tidak killer tentunya--lalu
pulang ke desa membawa berita bahagia. Tapi tidak bagi Latifa, ia wanita yang
susah ditebak. Sudah hampir sepuluh tahun kuliah, dan bahkan sudah mendapatkan
nomor mahasiswa baru. Ia masih saja enjoy dengan hidupnya.
Baginya hidup adalah perjalanan. Walaupun yang dituju belum jelas arahnya.
Aku masih saja di sini. Menemaninya ketika ia merapat sepi. Kos
ini dihuni lebih dari 10 wanita, dan Latifa sebagai seniornya. Sedangkan aku
sudah lulus 5 tahun yang lalu. Kerja sebagai ticketing. Bagiku mendapatkan uang
itu penting, bukan hanya bermimpi tak pernah berusaha.
"Ayuk anterin aku ke kampus Ne?" Dia memanggilku dengan
panggilan ne, walaupun nama lengkapku adalah irene. Bagiku panggilan bukan
substansi yang perlu diperdebatkan.
"Aku kerja hari ini Fa."
"Izin sehari masak nggak bisa?"
"Nanti gajiku dipotong?"
"Nanti aku ganti".Dia menarikku dan mengajaknya ke
kampus. Padahal jam 8 aku harus masuk kerja. Pikiranku ia mau mengganti dengan
apa, sedangkan uang saja dia tidak punya. Orangtuanya sudah pasrah dengannnya.
10 tahun tak pernah mendapatkan gelar sarjana,. Bagiku, ia orang yang baik.
Tapi mengapa ia belum lulus? Itulah yang hingga sekarang aku belum tahu.
Kami berjalan menelusuri trotoar, melintasi penjual makanan
dilesehan. Sesekali, dikanan-kiri ku lihat tukang becak mengayunkan pedalnya.
Yu Djum mulai membuka gudegnya, kang Asep membuka cilok Bandungnya, dan Cak
Saiful membuka soto maduranya. Tak terasa aku sudah sampai di depan kampus. Aku
dan Latifa memasuki pintu gerbang yang bertuliskan "Kampus Bebas Asap
Rokok". Diikuti jontai langkahnya, terus menuju ke lantai dua, dan tepat
di depan pintu ada tulisan "Ruang Jurusan A".
"Kamu tidak usah ikut masuk Ne? Ini urusanku sama ketua
jurusan. Tunggu di sini."
Latifa masuk dan konsultasi dengan dosen. Kurang lebih setengah
jam diskusi itu belum selesai. Sesekali ku lihat di lantai bawah. Kalau-kalau
ada cowok yang mau melamarku. Batinku. Sudah hampir 25 tahun tapi aku belum
mendapatkan jodoh. Latifa yang belum lulus saja katanya sudah dilamar sampai 3
kali. Sedangkan aku yang sudah bekerja kok belum ada yang melamar.
Latifa keluar dari ruang jurusan. Sambil tersenyum sumringah.
Seperti kekasih yang 1 tahun tidak berjumpa lalu datang dan dilamar. Begitulah
kira-kira perasaan bahagianya itu.
"Kenapa kamu Fa? Kok kayak orang gila gitu?"
"Aku lulus Ne. Ayuk kita pulang"
"Loh kok bisa? Kan belum ujian akhir?" Aku semakin
bingung dengan jawabannya.
Dia kembali menarik tanganku dan menuju lantai bawah. Kutelusuiri
jalanan kampus hingga menuju pintu gerbang dan kampusku sudah lenyap terhalang
kendaraan. Latifa bernyanyi riang. Tanpa mempedulikanku yang berada di
belakang. Aku kecapean mengikuti langkahnya yang begitu cepat. Ia berbelok ke
warung makan.
Bersambung.
Baca juga: Madrasah Lumut
Tag :
cerpen
0 Komentar untuk "Sarjana Muda Tanpa Ujian Akhir"
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan