![]() |
ilustrasi gambar |
Debu itu kembali menelusup rumahnya yang sudah satu
bulan tidak dibersihkan. Dedaunan kering menumpuk berserakan di pelataran
rumahnya. Angin mencolek tubuhnya yang berjalan terhuyung-huyung. Langkahnya
tertatih-tatih, disambut suaranya yang tidak jelas. Ia tinggal bersama ayahnya.
Ibunya telah tiada karena serangan tumor beberapa tahun yang lalu. Gadis itu
belum sepenuhnya bisa mandiri. Namun ia selalu berusaha untuk mandiri.
Prinsipnya “Bersyukur Dengan Apa yang Dimiliknya”. Caci maki mengiris hati,
suara-suara ledekan menjadi bagian dari kisah hidupnya. Ia berjuang dari kecil
tanpa belas kasihan orang. Ia sahabatku
yang sangat aku kagumi. Ia bernama Reni.
Sejak kecil dilahirkan ia dalam keadaan tidak
normal. Sarafnya mengalami gangguan, namun otaknya tidak bermasalah. Dari kecil
dulu ayah dan ibunya telah membawanya ke rumah sakit, tempat-tempat terapi dan
orang-orang pintar. Tetapi sampai sekarang belum juga diberi kesembuhan. Ia
gadis berkebutuhan khusus. Konon waktu kecil ia berkali-kali ditolak masuk
sekolah karena dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran. Betapa sakitnya orang
tuanya melihat anaknya diperlakukan tidak adil. Namun orang tuanya tak patah
arang. Sekolah yang satu menolak kemudian mencari sekolah lain dan Alhamdulillah
ada sekolah yang mau menerimanya. Betapa bahagianya ketika orang tua melihat
anaknya diterima di sekolah walaupun itu
sekolah luar biasa (SLB).
Hari-harinya ia
jalani dengan penuh semangat, tiada kata menyerah. Sekolah luar biasa memang
jauh berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Pada sekolah tersebut di
bedakan menjadi 4 golongan yaitu kelompok tunanetra, tunarungu dan tunawicara,
tunagrahita dan tunadaksa yang digunakan untuk anak yang memiliki gangguan pada
bagian fisik. Selain itu ada pengelompokkan lagi di setiap kelompoknya antara sipil dan polio. Untuk sipil biasanya disertai gangguan pada sistem
otaknya, sedangkan polio hanya yang
mengalami gangguan
pada fisiknya saja. Ia masuk pada golongan tunadaksa polio, karena fisiknya
saja yang terganggu sedangkan mental dan otaknya normal.
Perjuangan hidup
memaksanya harus menahan kepedihan.
Tangisan tak mampu lagi menjadi batu karang dalam setiap permasalahan. Ia hanya
mempunyai segelintir sahabat dan orang tua yang peduli kepadanya. Ia gadis yang
hebat. Walaupun dulu memakai baju harus dengan bantuan orang tuanya namun
sekarang jauh berbeda sepeninggal ibunya. Ia bisa mandiri tanpa bantuan
siapa-siapa. Masak, mencucui baju dan terkadang membantu ayahnya menjemur padi
di depan rumahnya. Walaupun demikian, terkadang masih ada ucapan yang tak
manusiawi. Suatu saat ia berjalan menuju halaman rumah kemudian muncul suara yang
tidak mencerminkan manusia.
“Eh, liat itu
nak! Orang gila lewat” Ucapnya tetangganya kepada anakanya tanpa rasa dosa.
Reni hanya
menatap nanar manusia itu. Ia tak pernah merasakan bagaimana sakitnya disamakan
dengan orang gila. Namun ia tetap melanjutkan langkah seraya berdoa dalam hati.
“Ya Tuhan,
berikan hidayah kepada mereka yang menghina saya, berikan mereka kebaikan hati
dan jiwanya”
Ucapan seperti
itu terlontar setiap kali ia keluar dari rumahnya. Fisiknya yang berjalan
miring menjadi bahan ejekan orang lain. Terkadang ada anak yang menjumpainya
kemudian lari ketakutan. Ada yang mengira ia sebagai orang gila, ada juga yang
mengira ia sebagai pengemis jalanan. Subhanallah.
Ia bukan gadis seperti itu. Ia gadis pejuang tanpa rasa lelah. Percaya atau
tidak ia merupakan mahasiswa teknik di
Universitas Swasta. Dia sahabat saya yang luar biasa.
Perlakuan dan anggapan yang semena-mena
menusuk jantungnya, ia hanya berharap ada yang mau menerima hanya sebatas
sahabat saja. Suatu senja saat ia melewati halte seraya menghentikan bus, ada
penumpang yang kemudian menghampirinya dan memberikan uang karena ia dianggap
sebagai pengemis. Ia menolak dengan halus.
“Maaf, saya
bukan pengemis mas” jawabnya dengan suara tidak begitu jelas tetapi santun.
Ia sedih dan
terpukul. Walaupun fisiknya tidak normal namun ia tidak pernah berharap belas
kasihan orang lain. Ia berjalan menaiki bus bersama beberapa penumpang di dalamnya.
Berjejal-jejal dengan bau yang menyengat. Tanpa rasa malu ia berdiri walaupun
setengah sempoyongan. Begitulah setiap harinya ia menggunakan angkutan kota
menuju kampusnya. Pagi diantar ayahnya sampai ke halte kemudian meneruskan
perjalanan menuju kampusnya yang berjarak puluhan kilo. Siapa saja yang
melihatnya seharusnya tidak tega. Namun banyak yang menjadikannya sebagai bahan
ejekan, mainan, sumpah serapah dan mengiranya orang gila.
Reni merupakan cermin orang
berkebutuhan khusus yang berjuang tanpa kenal menyerah. Tanpa rasa takut ia
mengambil jurusan teknik informatika di kampusnya. Bisa dibayangkan bagaimana
ia akan mengoperasikan komputer, bagaimana ia akan membongkar dan memahami script program yang menguras otak. Namun
itu bukan masalah baginya. Baginya hidupnya adalah menjadi manusia selayaknya manusia lain. Walaupun
fisik berbeda tetapi otak tetaplah sama dan yang membedakan adalah memaksimalkan
otak yang ada dengan ketekunan, bukan hebat karena background atau jabatan yang disandangnya.
“Bukankah di
sisi Tuhan itu yang membedakan hanya tingkat ketakwaannya, tidak ada orang yang
berjuang tanpa sukses, kecuali bagi mereka yang tidak pernah yakin akan dirinya
sendiri” batinnya sering bergumam sendiri.
Saat-saat kuliah merupakan hari-hari
yang berat buatnya. Ibunya telah tiada tetapi ayahnya menjadi pemacu
semangatnya. Tiap hari menuju kampusnya dengan tas yang tergenggam disebelah
kirinya. Telapak tangannya tidak bisa membuka. Tetapi ia bisa mengetik komputer
menggunakan lengkung jari tengahnya. Walaupun pelan-pelan namun ia bisa
mengerjakan tugas selayaknya teman yang lain. Dan bahkan ia lebih pintar dari
aku. Ingatannya lebih tajam dari temen sekelasku Subhanallah. Ini hidup tentang kuasa Tuhan dan bagaimana bisa
menghargai diri sendiri, mau berjuang, berpeluh keringat kemudian memaksimalkan potensi yang ada tanpa
ada kata menyerah.
******
Jalanan di kota ini menjadikan ia
tontonan bagi para pejalan kaki dan orang yang berlalu-lalang. Tingkah lakunya
yang terkadang aneh membuat orang lain sering cubit sana-sini mencemooh
dirinya. Namun semua itu tanpa ia hiraukan. Pernah ia cerita denganku saat aku
menjumpainya di halte untuk menggantarkannya ke Bank. Setelah selesai kemudian
kami menuju ke warung untuk beli makan. Ia makanpun tidak sempurna, makanan itu
ia ambil dengan susah payah. Orang biasa makan hanya 15 menit, ia bisa lebih
dari 1 jam. Tetapi aku sudah terbiasa dengannya dan saya tidak malu untuk menyuapinya
walaupun orang lain menganggapku apa. Ia ku suapi sambil bercerita tentang
tetangganya yang sering mengucapkan orang gila kepadanya sekarang anaknya
lumpuh.
“Kamu mau
berteman dengan orang cacat sepertiku kenapa?” tiba-tiba ia bertanya kepadaku
Aku masih
terdiam untuk menjawab, takut nanti perasaanya semakin terluka jika aku
menjawab salah. Dengan hati-hati aku menjawab.
“Hmm, aku tidak memandang
berteman dengan siapa saja, bagiku semua manusia itu sama” jawabku dengan
dingin.
Kemudian ia
bercerita lusa pernah bertanya pada teman-temannya dengan pertanyaan sama
persis dengan apa yang ia lontarkan padaku,
“Kamu tahu tidak
jawaban mereka lusa apa?”
Aku hanya menggelengkan
kepala.
“Mereka mau
berteman denganku karena kasihan aku ini orang cacat, sekarang tidak ada orang
yang peduli denganku kecuali kamu, makanya aku tanya seperti itu jangan-jangan
kamu sama seperti mereka.” begitu jawabnya.
“Aku mau
berteman dengan siapa saja. Dan aku bangga punya teman sepertimu yang bisa
menjadi inspirasi bagiku dan semua orang” Jawabku kembali.
Aku terdiam
menatap pohon jambu yang miring 45 derajat tertiup angin kencang. Hujan kemudian turun
manyapa bumi. Suara lalu-lalang kendaraan menambah bisingnya kota ini. Ia menatapku
penuh tanda tanya. Mungkin ada sesuatu yang ia simpan dalam hati dan takut
diutarakan. Suara kereta api yang meluncur dengan kecepatan tinggi dibelakang
rumah makan membuyarkan pandangannya kepadaku. Ia akan menjadi sarjana 1 bulan
lagi. Ia mendapat beasiswa berprestasi dan penghargaan orang cacat lulus dengan
predikat cumlaude. Saya yang normal
saja belum selesai. Tetapi ia telah selesai di waktu yang tepat. Aku malu padanya.
Aku juga malu dengan orang tuaku. Amanah yang diberikan kepadaku tidak pernah aku emban dengan sungguhan.
Mataku berkaca-kaca kemudian
berlinang saat menghadiri wisudanya. Ia duduk di depan bersama
sahabat-sahabatnya yang cumlaude. Burung
gereja sesekali mengintip dari atap gedung yang sedikit terbuka. Mungkin turut
bersuka-cita atas kesuksesan seorang manusia berkebutuhan khusus yang setiap
harinya bercanda dengan derita. Aku kembali menatapnya dari luar gedung seraya melihat
topi sarjana beruntai tali hitam dipindahkan oleh rektor ke sebelah kanannya
pertanda ia menjadi sarjana.
*****
Langit mendung pekat, awan hitam
mengepul dan membumbung berputar di angkasa. Reni menatap kosong rumahnya.
Kotor dan kumuh. Ia merupakan anak tunggal. Sudah hampir 6 bulan ia lulus
kuliah. Ia menyusuri jalanan untuk melamar pekerjaan dari kantor satu ke kantor
lain tetapi masih nihil. Alasannya karena kantor-kantor itu tidak mau menerima orang berkebutuhan khusus.
Padahal ia bisa melakukan tugasnya walaupun tidak secepat orang normal. Pernah
ia dimintai uang puluhan juta dengan jaminan bisa diterima menjadi karyawan di sebuah
kantor kecil pemerintahan. Namun sampai detik ini ketika ia masih bisa bernapas
janji itu tak kunjung hadir. Ketika ditanyakan jawabannya hanya tunggu saja
kabar dari kantor. Begitu seterusnya. Ia hanya berharap Tuhan adil terhadapnya
dan manusia tidak memandang rendah derajatnya. Ia bermimpi kelak hidupnya lebih
indah dari sekarang. Penderitaannya berbalas kebahagiaan. Sore itu ia masih
saja bertopang dagu seraya tengadah menatap perjalanan hidupnya dan berharap
Tuhan membalas perjuangannya, sambil sesekali melihat langit yang masih saja
biru.
Tag :
cerpen
0 Komentar untuk "Cerpen - Menatap Perjalanan"
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan