"Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi yang lainnya"

Selamat Datang di Sofyan Blog's - "Kesuksesan hanya milik mereka yang mau berjuang"

Cerpen - Menatap Perjalanan

ilustrasi gambar
Debu itu kembali menelusup rumahnya yang sudah satu bulan tidak dibersihkan. Dedaunan kering menumpuk berserakan di pelataran rumahnya. Angin mencolek tubuhnya yang berjalan terhuyung-huyung. Langkahnya tertatih-tatih, disambut suaranya yang tidak jelas. Ia tinggal bersama ayahnya. Ibunya telah tiada karena serangan tumor beberapa tahun yang lalu. Gadis itu belum sepenuhnya bisa mandiri. Namun ia selalu berusaha untuk mandiri. Prinsipnya “Bersyukur Dengan Apa yang Dimiliknya”. Caci maki mengiris hati, suara-suara ledekan menjadi bagian dari kisah hidupnya. Ia berjuang dari kecil tanpa belas kasihan orang.  Ia sahabatku yang sangat aku kagumi. Ia bernama Reni.

Sejak kecil dilahirkan ia dalam keadaan tidak normal. Sarafnya mengalami gangguan, namun otaknya tidak bermasalah. Dari kecil dulu ayah dan ibunya telah membawanya ke rumah sakit, tempat-tempat terapi dan orang-orang pintar. Tetapi sampai sekarang belum juga diberi kesembuhan. Ia gadis berkebutuhan khusus. Konon waktu kecil ia berkali-kali ditolak masuk sekolah karena dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran. Betapa sakitnya orang tuanya melihat anaknya diperlakukan tidak adil. Namun orang tuanya tak patah arang. Sekolah yang satu menolak kemudian mencari sekolah lain dan Alhamdulillah ada sekolah yang mau menerimanya. Betapa bahagianya ketika orang tua melihat anaknya diterima di sekolah  walaupun itu sekolah luar biasa (SLB).
Hari-harinya ia jalani dengan penuh semangat, tiada kata menyerah. Sekolah luar biasa memang jauh berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Pada sekolah tersebut di bedakan menjadi 4 golongan yaitu kelompok tunanetra, tunarungu dan tunawicara, tunagrahita dan tunadaksa yang digunakan untuk anak yang memiliki gangguan pada bagian fisik. Selain itu ada pengelompokkan lagi di setiap kelompoknya antara sipil dan polio. Untuk sipil biasanya disertai gangguan pada sistem otaknya, sedangkan polio hanya yang mengalami gangguan pada fisiknya  saja. Ia masuk pada golongan tunadaksa polio, karena fisiknya saja yang terganggu sedangkan mental  dan otaknya normal.
Perjuangan hidup memaksanya harus menahan  kepedihan. Tangisan tak mampu lagi menjadi batu karang dalam setiap permasalahan. Ia hanya mempunyai segelintir sahabat dan orang tua yang peduli kepadanya. Ia gadis yang hebat. Walaupun dulu memakai baju harus dengan bantuan orang tuanya namun sekarang jauh berbeda sepeninggal ibunya. Ia bisa mandiri tanpa bantuan siapa-siapa. Masak, mencucui baju dan terkadang membantu ayahnya menjemur padi di depan rumahnya. Walaupun demikian, terkadang masih ada ucapan yang tak manusiawi. Suatu saat ia berjalan menuju halaman rumah kemudian muncul suara yang tidak mencerminkan manusia.
“Eh, liat itu nak! Orang gila lewat” Ucapnya tetangganya kepada anakanya tanpa rasa dosa.
Reni hanya menatap nanar manusia itu. Ia tak pernah merasakan bagaimana sakitnya disamakan dengan orang gila. Namun ia tetap melanjutkan langkah seraya berdoa dalam hati.
“Ya Tuhan, berikan hidayah kepada mereka yang menghina saya, berikan mereka kebaikan hati dan jiwanya”
Ucapan seperti itu terlontar setiap kali ia keluar dari rumahnya. Fisiknya yang berjalan miring menjadi bahan ejekan orang lain. Terkadang ada anak yang menjumpainya kemudian lari ketakutan. Ada yang mengira ia sebagai orang gila, ada juga yang mengira ia sebagai pengemis jalanan. Subhanallah. Ia bukan gadis seperti itu. Ia gadis pejuang tanpa rasa lelah. Percaya atau tidak ia  merupakan mahasiswa teknik di Universitas Swasta. Dia sahabat saya yang luar biasa.
Perlakuan dan anggapan yang semena-mena menusuk jantungnya, ia hanya berharap ada yang mau menerima hanya sebatas sahabat saja. Suatu senja saat ia melewati halte seraya menghentikan bus, ada penumpang yang kemudian menghampirinya dan memberikan uang karena ia dianggap sebagai pengemis. Ia menolak dengan halus.
“Maaf, saya bukan pengemis mas” jawabnya dengan suara tidak begitu  jelas tetapi  santun.
Ia sedih dan terpukul. Walaupun fisiknya tidak normal namun ia tidak pernah berharap belas kasihan orang lain. Ia berjalan menaiki bus bersama beberapa penumpang di dalamnya. Berjejal-jejal dengan bau yang menyengat. Tanpa rasa malu ia berdiri walaupun setengah sempoyongan. Begitulah setiap harinya ia menggunakan angkutan kota menuju kampusnya. Pagi diantar ayahnya sampai ke halte kemudian meneruskan perjalanan menuju kampusnya yang berjarak puluhan kilo. Siapa saja yang melihatnya seharusnya tidak tega. Namun banyak yang menjadikannya sebagai bahan ejekan, mainan, sumpah serapah dan mengiranya orang gila.
Reni merupakan cermin orang berkebutuhan khusus yang berjuang tanpa kenal menyerah. Tanpa rasa takut ia mengambil jurusan teknik informatika di kampusnya. Bisa dibayangkan bagaimana ia akan mengoperasikan komputer, bagaimana ia akan membongkar dan memahami script program yang menguras otak. Namun itu bukan masalah baginya. Baginya hidupnya adalah menjadi manusia selayaknya manusia lain. Walaupun fisik berbeda tetapi otak tetaplah sama dan yang membedakan adalah memaksimalkan otak yang ada dengan ketekunan, bukan hebat karena background atau jabatan yang disandangnya.
“Bukankah di sisi Tuhan itu yang membedakan hanya tingkat ketakwaannya, tidak ada orang yang berjuang tanpa sukses, kecuali bagi mereka yang tidak pernah yakin akan dirinya sendiri” batinnya sering bergumam sendiri.
Saat-saat kuliah merupakan hari-hari yang berat buatnya. Ibunya telah tiada tetapi ayahnya menjadi pemacu semangatnya. Tiap hari menuju kampusnya dengan tas yang tergenggam disebelah kirinya. Telapak tangannya tidak bisa membuka. Tetapi ia bisa mengetik komputer menggunakan lengkung jari tengahnya. Walaupun pelan-pelan namun ia bisa mengerjakan tugas selayaknya teman yang lain. Dan bahkan ia lebih pintar dari aku. Ingatannya lebih tajam dari temen sekelasku Subhanallah. Ini hidup tentang kuasa Tuhan dan bagaimana bisa menghargai diri sendiri, mau berjuang, berpeluh keringat  kemudian memaksimalkan potensi yang ada tanpa ada kata menyerah.
******
Jalanan di kota ini menjadikan ia tontonan bagi para pejalan kaki dan orang yang berlalu-lalang. Tingkah lakunya yang terkadang aneh membuat orang lain sering cubit sana-sini mencemooh dirinya. Namun semua itu tanpa ia hiraukan. Pernah ia cerita denganku saat aku menjumpainya di halte untuk menggantarkannya ke Bank. Setelah selesai kemudian kami menuju ke warung untuk beli makan. Ia makanpun tidak sempurna, makanan itu ia ambil dengan susah payah. Orang biasa makan hanya 15 menit, ia bisa lebih dari 1 jam. Tetapi aku sudah terbiasa dengannya dan saya tidak malu untuk menyuapinya walaupun orang lain menganggapku apa. Ia ku suapi sambil bercerita tentang tetangganya yang sering mengucapkan orang gila kepadanya sekarang anaknya lumpuh.
“Kamu mau berteman dengan orang cacat sepertiku kenapa?” tiba-tiba ia bertanya kepadaku
Aku masih terdiam untuk menjawab, takut nanti perasaanya semakin terluka jika aku menjawab salah. Dengan hati-hati aku menjawab.
“Hmm, aku tidak memandang berteman dengan siapa saja, bagiku semua manusia itu sama” jawabku dengan dingin.
Kemudian ia bercerita lusa pernah bertanya pada teman-temannya dengan pertanyaan sama persis dengan apa yang ia lontarkan padaku,
“Kamu tahu tidak jawaban  mereka  lusa apa?”
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Mereka mau berteman denganku karena kasihan aku ini orang cacat, sekarang tidak ada orang yang peduli denganku kecuali kamu, makanya aku tanya seperti itu jangan-jangan kamu sama seperti mereka.” begitu jawabnya.
“Aku mau berteman dengan siapa saja. Dan aku bangga punya teman sepertimu yang bisa menjadi inspirasi bagiku dan semua orang” Jawabku kembali.
Aku terdiam menatap pohon jambu yang miring 45 derajat  tertiup angin kencang. Hujan kemudian turun manyapa bumi. Suara lalu-lalang kendaraan menambah bisingnya kota ini. Ia menatapku penuh tanda tanya. Mungkin ada sesuatu yang ia simpan dalam hati dan takut diutarakan. Suara kereta api yang meluncur dengan kecepatan tinggi dibelakang rumah makan membuyarkan pandangannya kepadaku. Ia akan menjadi sarjana 1 bulan lagi. Ia mendapat beasiswa berprestasi dan penghargaan orang cacat lulus dengan predikat cumlaude. Saya yang normal saja belum selesai. Tetapi ia telah selesai di waktu yang tepat. Aku malu padanya. Aku juga malu dengan orang tuaku. Amanah yang diberikan kepadaku  tidak pernah aku emban dengan sungguhan.
Mataku berkaca-kaca kemudian berlinang saat menghadiri wisudanya. Ia duduk di depan bersama sahabat-sahabatnya yang cumlaude. Burung gereja sesekali mengintip dari atap gedung yang sedikit terbuka. Mungkin turut bersuka-cita atas kesuksesan seorang manusia berkebutuhan khusus yang setiap harinya bercanda dengan derita. Aku kembali menatapnya dari luar gedung seraya melihat topi sarjana beruntai tali hitam dipindahkan oleh rektor ke sebelah kanannya pertanda ia menjadi sarjana.
*****

Langit mendung pekat, awan hitam mengepul dan membumbung berputar di angkasa. Reni menatap kosong rumahnya. Kotor dan kumuh. Ia merupakan anak tunggal. Sudah hampir 6 bulan ia lulus kuliah. Ia menyusuri jalanan untuk melamar pekerjaan dari kantor satu ke kantor lain tetapi masih nihil. Alasannya karena kantor-kantor itu  tidak mau menerima orang berkebutuhan khusus. Padahal ia bisa melakukan tugasnya walaupun tidak secepat orang normal. Pernah ia dimintai uang puluhan juta dengan jaminan bisa diterima menjadi karyawan di sebuah kantor kecil pemerintahan. Namun sampai detik ini ketika ia masih bisa bernapas janji itu tak kunjung hadir. Ketika ditanyakan jawabannya hanya tunggu saja kabar dari kantor. Begitu seterusnya. Ia hanya berharap Tuhan adil terhadapnya dan manusia tidak memandang rendah derajatnya. Ia bermimpi kelak hidupnya lebih indah dari sekarang. Penderitaannya berbalas kebahagiaan. Sore itu ia masih saja  bertopang dagu seraya tengadah  menatap perjalanan hidupnya dan berharap Tuhan membalas perjuangannya, sambil sesekali melihat langit yang masih saja biru.

Tag : cerpen

Related Post:

0 Komentar untuk "Cerpen - Menatap Perjalanan"

Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan

Back To Top