Pendidikan kita saat ini belum bisa kita nilai secara sepenuh hati baik apa buruk. Namun dari pelajaran masa lalu membuat pendidikan kita serasa jalan di tempat. Mengapa demikian?
- Pertama yang harus kita cermati adalah standar kelulusan siswa harus diuji dengan ujian akhir nasional atau biasa kita sebut UNAS. Hal ini saya kira sangat mencederai rasa keadilan bagi siswa itu sendiri. Sebagaimana kita tahu bahwa secara akademik ataupun non akademik yang mengetahui karakter siswa adalah guru mereka sendiri. Sehingga banyak sekali siswa prestasi akademiknya bagus kemudian tidak lulus gara-gara nilai ujian akhir buruk. Ini kan ada yang aneh, mungkin standar soal yang terlalu tinggi atau memang siswanya yang tidak belajar. Entah lah tapi ketika diukur dari soal yang berbobot namun siswa yang berprestasi yang jadi korban maka jelaslah bukan soal itu yag menjadikannya tidak lulus. Bisa karena melingkari jawaban kurang hitam, salah dalam menulis identitas dan masih banyak lagi kemungkinan lain.
- Kedua yang harus kita cermati bahwa pendidikan secara akademik bukan satu-satunya dalam hal kelulusan siswa. Untuk apa nilai akdemiknya bagus tapi perilakunya tidak baik. Melawan sama guru, tidak menghargai teman dan bahkan perilakunya semaunya sendiri. Perilaku jelaslah menjadi ukuran baik atau buruknya siswa. Kalau buruk bisa dimungkinkan banyak hal juga. Mungkin broken home, terdekap masalah yang tak selesai dan lain-lain. Jika secara psikologis demikian adanya maka guru Bimbingan Konseling (BK) akan memberikan pengarahan dan sosialisasi terhadap siswa bahwa siswa tersebut sedang ada masalah. kalau semua nilai hanya didasarkan pada nilai akademiknya, maka nantinya para lulusan kita hanya akan pandai pada ilmu akademik saja. Karena akademik hebat tidak menjamin juga peilakunya juga habat.
- Ketiga konsep belajar pada pendidikan kita adalah mengajar. Masih sangat sulit sekali dalam menerapkan Student Center Learning (SCL), jika SCL bisa diterapkan, maka siswa akan bisa berfikir secara lateral, tidak hanya linier. Mengapa demikian? karena siswa akan diajak untuk mengembangkan apa yang menjadi keinginan dan bakatnya. Ketika keinginan kemudian diusahakan dan dibimbing, maka siswa akan termotivasi untuk belajar lebih giat dan lebih gigih. Ikutilah apa yang mereka inginkan, guru bertugas memberikan pengarahan semaksimal mungkin berdasarkan aturan pendidikan yang ada.
- Keempat guru mengajar siswa-siswanya "masih ada" yang tidak sepenuh hatinya. Namun mereka mengajar hanya karena kewajibannya sebagai guru saja. Jika demikian maka guru akan mengajar setengah hati, kemudian siswanya juga akan malas. Lalu terjadilah hubungnan integrasi setengah hati semua. Coba bisa dibayangkan bagaimana nantinya. Pastilah yang mengajar dan diajar tidak akan maksimal. Benar bukan?
Dari beberapa hal diatas, marilah kita renungkan, bagaimana kita bisa keluar dari kondisi yang kurang bersinergi ini. Jangan jauh-jauh, mulailah dari kita sendiri untuk menjadikan pendidikan kita berbasis akademik dan akhlak yang baik, guru bersinergi dengan siswanya, atasan terintegrasi dengan bawahan. Jika demikian maka sistem pendidikan kita akan lebih maju. Semua jangan didasarkan pada nilai akademik hitam diatas putih, tapi nilai budi pekerti, akhlak dan dasar-dasar keagamaan harus tercantum dalam kurikulum pendidikan kita. Ayo majulah pendidikan Indonesia.
Tag :
Catatan
0 Komentar untuk "Pendidikan Kita Harus Bagaimana?"
Sahabat, silahkan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam perjuangan